AJI Tegaskan Kritik Bukanlah Ujaran Kebencian

5 November 2015, 15:36 WIB
workshop%2BAJINDO
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono 

Kabarnusa.com
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono mendesak
Kepolisian menindak tegas semua ujaran kebencian (hate speech) terhadap
agama, suku, dan ras serta mempidanakan segala anjuran kekerasan atas
dasar perbedaan agama, suku, dan ras.

Sebaliknya, Aliansi
Jurnalis Independen menolak upaya kriminalisasi kritik kepada pejabat
dan lembaga publik sebagai ujaran kebencian.

Kata Suwarjono,
memasukkan kritik ke unsur pencemaran nama baik atau perbuatan tidak
menyenangkan  ke ujaran kebencian, berpotensi menghambat kebebasan
berpendapat.

Tafsir pencemaran nama baik dan perbuatan tidak
menyenangkan itu bersifat karet, bila tidak dipahami aparat kepolisian,
berpotensi menjadi pintu masuk mempidanakan sikap kritis masyarakat,
termasuk mempidanakan jurnalis atau media.

“Ini bahaya. Bila
kebebasan berpendapat terbelenggu, ini ancaman serius bagi kebebasan
pers,” kata Suwarjono dalam siaran persnya diterima Kabarnusa.com Kamis (5/11/2015).

Kepolisian
telah mengeluarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Dalam
surat edaran tersebut tercantum tujuh bentuk ujaran kebencian, yaitu
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak
menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong yang
bertujuan menyulut kebencian di kalangan individu atau kelompok
masyarakat.

AJI menilai surat edaran penanganan ujaran kebencian telah mengaburkan batasan universal tentang ujaran kebencian.

Seharusnya,
lanjut Suwarjono, penindakan hukum terhadap para penyebar ujaran
kebencian dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi,
sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar 1945,

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.

Dia
menegaskan, penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau
kekerasan karena perbedaan agama atau ras yang harus dilarang oleh
hukum.

Jangan dibalik atau campur-aduk dengan perbedaan
pendapat, sikap kritis masyarakat. Mengatur ujaran kebencian harus
dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi.

Hal
itu sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi Republik Indonesia.

Pihaknya menunggu konsistensi Polri dalam menindak penyebar ujaran kebencian yang marak dilakukan kelompok intoleran.

Dia menyayangkan Polri justru abai terhadap berbagai ujaran kebencian bahkan ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok radikal.

“Kami
melihat, Surat Edaran Kepala Polri justru lebih didasari kepentingan
politik, untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara dan
lembaga negara,” tegas Pemimpin Redaksi Suara.com itu.

Hal
sama disampaikan Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho,
meminta Polri menerapkan batasan pengertian universal tentang tindakan
ujaran kebencian, demi memastikan tidak terjadinya kriminalisasi kritik
terhadap penyelenggara dan lembaga negara.

Batasan pengertian
yang paling obyektif adalah batasan penggunaan hak berekspresi yang
telah diatur rinci oleh Konvenan Hak Sipil dan Politik.

Menurutnta,
ujaran kebencian adalah ujaran yang menistakan atau merendahkan
martabat seseorang karena latar belakang agama, suku, dan ras.

Ancaman
dan anjuran kekerasan berlatar belakang agama, suku, dan ras juga harus
ditindak tegas, karena kebebasan berekpresi tidak boleh disalahgunakan
untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang yang lain.

“Kami
menuntut Polri hanya menggunakan ukuran baku Konvenan Hak Sipil dan
Politik sebagai ukuran ujaran kebencian, karena ukuran yang sumir
membahayakan kebebasan berekspresi,” kata Iman.

Iman juga merujuk
kepada Pernyataan Bersama Perserikatan Bangsa-bangsa, Organisasi
Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) dan Organisasi Negara-negara Amerika
(OAS) pada 2001, yang merumuskan batasan penindakan atas ujaran
kebencian.

“Penindakan itu harus memastikan bahwa tindakan hukum tidak boleh dilakukan bagi pernyataan yang sahih kebenarannya.

Pemidanaan
juga tidak boleh dilakukan kecuali jika terdapat bukti kuat bahwa
sebuah ujaran kebencian diniatkan untuk menghasut kebencian,
diskriminasi, dan kekerasan. Ekspresi kritik terhadap penyelenggara
negara dan lembaga negara tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran
kebencian,” tutupnya. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini