Analisis Defiyan: Kebakaran Kilang Balongan Bukti Lemahnya SPM Sub Holding PT KPI

4 April 2021, 21:02 WIB
Ilustrasi kebakaran. (Shutterstock)

Publik patut untuk prihatin yang mendalam atas musibah kebakaran tangki
di kilang balongan milik Pertamina, walaupun tidak ada korban jiwa atas
peristiwa tersebut.

Saat musibah menerpa individu (personal) atau sebuah lembaga/institusi
berbadan hukum seperti perusahaan (korporasi) yang berdampak pada kepentingan
ekonomi, maka kebijakan prioritas yang merupakan tindakan darurat (emergency
action) serta rencana cadangan (contingency plan) adalah sebuah keharusan dan
keniscayaan.

Suatu tindakan alternatif yang dipersiapkan ketika tindakan utama yang
direncanakan untuk melakukan sesuatu gagal atau terhambat oleh berbagai
faktor.

Apalagi masalah itu terjadi pada sumber atau obyek vital yang mempengaruhi
hajat hidup orang banyak dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa dan
negara, khususnya di sektor energi, Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Begitu pula tindakan yang harus diambil saat terjadi kebakaran salah satu
obyek vital nasional (obvitnas) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT.
Pertamina, yaitu tangki di kilang balongan yang berlokasi di Kabupaten
Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

Dan, jajaran Pertamina dibawah kepemimpinan Direktur Utama Nicke Widyawati
telah mampu, sigap dan tangkas dalam melokalisir dampak kebakaran tangki
kilang balongan agar tak meluas patut diapresiasi setinggi-tingginya, termasuk
melakukan penanganan pasca kebakaran pada masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

Namun demikian, terkait laporan atau informasi warga setempat ini, maka pusat
perhatian (fokus) publik harus ditujukan pada 3 (hal) yang menjadi bagian dari
fungsi-fungsi manajemen sebuah organisasi perusahaan dalam mengelola,
menangani dan mengantisipasi permasalahan kebakaran tersebut, yaitu bagaimana
sistem peringatan dini (early warning system) berjalan, sistem pemeliharaan
dan pengawasan serta pertanggungjawaban (akuntabilitas) tujuan dan manfaat
pengelolaan resiko serta dampaknya.

Sebagaimana berbagai pihak mengingatkan, sebaiknya publik tak berspekulasi
dahulu atas penyebab dan jumlah kerugian yang telah diderita atas musibah
kebakaran tangki kilang balongan ini, serahkan dan tunggu hasil penyelidikan
pihak yang berwenang supaya publik tenang.

Walaupun secara resmi beberapa pihak telah menyampaikan secara terbuka sesuai
kompetensinya soal faktor atau sumber penyebab kebakaran tangki kilang
balongan.

Sebagai contoh, yaitu pihak Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) yang berada
dalam koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah
menyampaikan sebuah bantahan terkait sumber penyebab kebakaran tangki adalah
petir, untuk menangkal opini publik yang terbentuk dan berkembang dikala
kejadian saat itu di wilayah sekitar lokasi kilang berada sedang turun hujan
disertai angin.

Sementara itu, walaupun Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok memastikan sedang berlangsung investigasi yang dilakukan oleh Pertamina
dan pihak Kepolisian atas musibah kebakaran di kilang Pertamina RU VI
Balongan, Indramayu, Jawa Barat, sejak Senin (29/3), dan api telah berhasil
dipadamkan pada Rabu 31 Maret dini hari.

Bahkan, ditengah upaya investigasi itu justru Ahok pada Hari Jum’at 2 April
2021 secara resmi mengungkapkan salah satu penyebab kebakaran yang terjadi di
Kilang Balongan (Refinery Unit IV) tersebut adalah kebocoran tangki, dan yang
masih belum terjawab menurutnya, yaitu penyebab pengamanan kebocoran tangki
terlambat dilakukan sehingga mengakibatkan kebakaran yang melukai 30 orang dan
932 warga mengungsi itu.

Namun begitu, pada Hari Jumat 2 April 2021, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Jawa Barat menyatakan dua titik api yang berada di tangki T 301
F dan T T301 G sempat kembali menyala, artinya masih belum padam secara total.

Berdasarkan uraian itu, tulisan ini mencoba untuk menelaah sumber penyebab
terjadinya kebakaran tangki kilang balongan merujuk pada data dan informasi
awal yang telah berkembang, tanpa berpretensi mengambil peran dan fungsi
investigasi yang tengah dilakukan oleh pihak berwenang.

Secara khusus, pada informasi yang disampaikan oleh warga disekitar wilayah
kilang balongan berada, yang mencium bau bensin atau gas sehari sebelum
kejadian kebakaran.

Pernyataan dan bahkan aksi demo yang juga dilakukan warga dengan meminta
bantuan pemeriksaan kesehatan dan susu kepada pihak Pertamina menunjukkan
bukti kuat sumber penyebab kebakaran adalah PETIR, terbantahkan.

Merujuk pada peristiwa-peristiwa tersebut, maka dapat diambil kesimpulan awal
yang memang tidak ada kaitannya dengan proses penyelidikan secara hukum atas
kejadian kebakaran tangki tersebut, tapi dapat menjadi data dan informasi awal
cukup kuat bagi pihak berwenang.

Paling tidak ada 2 (dua) yang perlu didalami oleh tim investigasi, yaitu:

Pertama, tidaklah salah kemudian publik menyampaikan, bahwa sumber penyebab
kebakaran tangki kilang balongan milik Pertamina adalah tidak bekerjanya
sistem peringatan dini (early warning system) dalam perusahaan.

Padahal, Sistem Peringatan Dini (SIPD) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam dan non alam, yang dapat berupa
bencana maupun tanda-tanda alam dan non alam lainnya di suatu tempat.

Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan
informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat agar masyarakat
bersiap diri.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di
dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan
kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan
risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum suatu resiko bencana terjadi
atau muncul.

SIPD menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat, karena
peringatan dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap
kesiapsiagaan diawal dan tanggap darurat pada tahap kejadian musibah atau
bencana.

Secara teoritis bila peringatan dini disampaikan tepat waktu, maka suatu
peristiwa yang dapat menimbulkan musibah atau bencana dahsyat dapat diperkecil
dampak negatifnya, seperti korban jiwa dan kehilangan harta benda.

Dalam kasus kebakaran tangki kilang balongan ini, justru serangkaian pekerjaan
SIPD ini dilakukan oleh warga dengan memberitahukan adanya bau bensin atau gas
yang tercium.

Apabila pihak Pertamina atau dalam hal ini PT. Kilang Pertamina Indonesia
(KPI) menanggapinya langsung, maka timbulnya kejadian kebakaran tangki mungkin
dapat diantisipasi dengan adanya tanda-tanda tersebut.

Peringatan dini pada masyarakat yang mencium bau tidak sedap (bensin atau gas)
ini merupakan tindakan memberikan informasi kepada pihak Pertamina dengan
bahasa warga karena ketidaktahuan apa yang sedang terjadi pada lokasi kilang
balongan, namun semestinya hal yang mudah dicerna oleh KPI untuk mengambil
tindakan mengatasi bau yang diduga masyarakat berasal dari dalam kompek kilang
balongan itu.

Namun, ketiadaan SIPD ini justru membuat masyarakat tidak dapat merespon
informasi soal bau aneh yang telah dirasakan tersebut dengan cepat dan tepat.

Kesigapan dan kecepatan reaksi Pertamina dalam menerapkan SIPD ini justru
membuat masyarakat tenang-tenang saja, malah masih ada korban yang terkena
dampak ledakan karena diwaktu kejadian berjalan melalui jarak yang dekat
karena tidak dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) akan munculnya
ledakan dan kebakaran tangki kilang balongan.

Kondisi kritis, waktu sempit, atas kemungkinan musibah yang diawali oleh bau
tadi ditujukan untuk tindakan penyelamatan penduduk dan merupakan
faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini dari KPI, dan itu tidak
dilakukan.

Kedua, soal Akuntabilitas Resiko, sesuai dengan pernyataan pihak Pertamina,
tiga hari pasca musibah kebakaran akan memusatkan perhatian (fokus) untuk
pemadaman api, dan menangani warga terdampak, setelah itu baru akan mendata
kerusakan atau kerugian akibat ledakan tersebut patut diapresiasi sebagai
sikap bertanggungjawab.

Sementara itu, terkait pernyataan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero)
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengungkapkan salah satu penyebab
kebakaran yang terjadi dilokasi kilang balongan adalah kebocoran tangki.

Melalui peryataannya, Ahok menyoroti soal pengamanan tangki yang bocor dan
keterlambatan yang terjadi sehingga menyebabkan kebakaran itu.

Dalam konteks ini, maka Ahok tidak saja menyampaikan soal pengamanan saat
terjadi kebocoran tangki ansich, namun lebih jauh adalah berkaitan dengan
aspek pemeliharaan dan pengawasannya yang merupakan bagian dari Sistem
Pengendalian Manajemen (SPM) organisasi perusahaan.

Apabila pengendalian kilang balongan dan kilang lainnya yang didelegasikan
kepada manajemen sub holding oleh holding ini dilakukan secara optimal, maka
biaya yang dikeluarkan untuk menanggung kerugian rusak dan hancurnya peralatan
serta menangani masyarakat dan lingkungan sekitarnya akibat kelalaian personil
dalam mengantisipasi kebakaran tangki mungkin akan lebih minimal.

Terkait masalah kebakaran, maka Ahok sang Komisaris Utama Pertamina sedang
menuntun upaya penyelidikan kepolisian atas dugaan adanya kelalaian pihak
manajemen KPI melakukan efektifitas dan efisiensi aspek pemeliharaan,
pengamanan, pengawasan atau pengendalian penting pada sebuah perusahaan negara
yang mapan dengan tingkat resiko dan teknologi yang tinggi (high tech and
risk).

Benarkah sebegitu teledornya aspek ini dijaga oleh jajaran manajemen sub
holding Pertamina, yaitu KPI sehingga berakibat terjadinya kebakaran tangki?

Tentu Ahok juga sedang mengajak semua pihak berpikir logis atau rasional (make
sense) menanggapi sebuah insiden atau musibah yang dapat dikendalikan manusia,
dan tidak masuk akal (not make sense) menjadikan petir sebagai alasannya,
apalagi telah terdapat info awal dari para warga setempat sehubungan mencium
bau bensin dan gas.

Oleh karena itu, pertanggungjawaban atau akuntabilitas resiko kebakaran tangki
ini sesuai kebijakan holding dan sub holding yang telah ditetapkan oleh
Menteri BUMN, Erick Tohir berada pada jajaran manajemen KPI.

Catatan juga untuk Ahok sebagai Komisaris Utama adalah, bahwa proses
restrukturisasi organisasi manajemen BUMN tidak bisa hanya dilakukan
berdasarkan derajat pendidikan dan usia personil (millenial euphoria) yang
bersangkutan dalam mengisi pos-pos jabatan strategis dan mengabaikan rekam
jejak (track record) pengalamannya dibidang energi, khususnya minyak dan gas
bumi.

Last but not least, terobosan-terobosan manajerial yang dijalankan oleh Ahok
yang merupakan domain jajaran Direksi Pertamina dalam meningkatkan kinerja
Pertamina melalui proses seleksi, perekrutan, promosi dan mutasi Sumber Daya
Manusia perusahaan yang mengabaikan standar kompetensi menyeluruh akan menjadi
bumerang dikemudian hari.

Semoga jajaran Pertamina, khususnya Ahok sebagai komisaris dapat mengambil
pelajaran dari kasus terbakarnya tangki di kilang balongan ini dan segera
mengantisipasi kejadian serupa di lokasi lain melalui peningkatan aspek
manajemen resiko lebih baik dan optimal. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Berita Lainnya

Terkini