Ubud – Warisan spiritual dan artistik Bali kembali membentang megah di Ubud. ARMA Fest 2025, festival seni budaya tahunan yang telah mencapai edisi ketiganya, resmi bergulir pada 27–28 September 2025 di jantung peradaban seni, ARMA Museum
Mengusung tema sakral “Preserving Culture”, festival ini bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah pernyataan komitmen tegas terhadap kelangsungan tradisi Pulau Dewata.
Pembukaan ARMA Fest tahun ini semakin istimewa dengan dukungan penuh dari Kementerian Kebudayaan RI.
Diresmikan Wakil Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Giring Ganesha, pada Sabtu (27/9), kehadirannya menjadi penegasan upaya pelestarian budaya lokal seperti ini adalah agenda vital nasional.
“ARMA Fest adalah undangan terbuka bagi siapa pun yang mencintai seni dan budaya Bali,” kata Agung Yudi, Direktur ARMA Museum.
Pihaknya berharap festival ini dapat terus menjadi sumber inspirasi, kebanggaan, dan kebersamaan, menyatukan masyarakat dan wisatawan dalam harmoni.
Jantung Tri Hita Karana di Panggung Seni
ARMA Fest 2025 menjelma menjadi oase kolaborasi, melibatkan lebih dari 150 seniman, komunitas, dan sanggar seni dari berbagai pelosok Bali.
Festival ini adalah panggung ekspresi yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.
Anak Agung Gde Rai, Pendiri Yayasan ARMA, menegaskan filosofi yang melandasi perhelatan ini.
“Festival ini adalah bentuk nyata komitmen kami terhadap filosofi Tri Hita Karana—menjaga harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi generasi muda untuk berekspresi sekaligus melestarikan,” tegasnya.
Sorotan Program: Dari Topeng Sakral hingga Sinema Etnografi
ARMA Fest 2025 menghadirkan kurasi program yang memukau, melintasi batas disiplin seni:
Gema Pertunjukan Tradisi dan Inovasi: Panggung utama akan dihidupkan oleh kekuatan artistik Janger dan Barong Prakpak, disandingkan dengan kolaborasi musik lintas genre—perpaduan magis antara musik tradisi Selonding dengan sentuhan kontemporer.
Menggali Taksu Lewat Diskusi: Panel yang paling dinanti adalah Diskusi Seni Topeng – Taksu Jaga Raga. Menghadirkan budayawan kaliber seperti Prof. Dr. I Wayan Dibia dan Prof. Dr. I Made Bandem, MA, diskusi ini akan mengupas tuntas gagasan dan inspirasi di balik kesakralan seni topeng Bali.
Jendela Seni Rupa “Jagaraga”: Pameran seni rupa dari Asosiasi Seniman Singapadu menampilkan karya bertema “Jagaraga,” merefleksikan kekuatan penciptaan, perubahan, dan semangat pelestarian.
Layar Sinema Budaya Lintas Zaman: Festival ini menghadirkan penayangan film yang langka dan penting. Salah satunya adalah pemutaran “The Island of Demons” (1933), film etnografi legendaris yang merekam esensi budaya Bali hampir seabad lalu, yang telah direstorasi dengan indah di Berlin.
Selain itu, film kontemporer “PAHIT MANIS, Night Forest” karya Leyla Stevens juga akan ditayangkan, menggali konservasi lingkungan melalui tradisi wayang kulit dan lukisan tinta Batuan 1930-an.
Selain itu, pengunjung diajak berpartisipasi aktif dalam Lokakarya melukis bersama seniman Batuan dan pembuatan topeng khas Singapadu, serta menjelajahi sejarah seni di Tur Museum koleksi permanen ARMA, yang mencakup karya klasik Kamasan hingga mahakarya Raden Saleh dan Walter Spies.
Melalui sinergi antara seniman, akademisi, dan partisipasi aktif UMKM lokal dalam pameran produk kreatif dan kuliner, ARMA Fest 2025 membuktikan diri sebagai model festival yang tidak hanya melestarikan roh budaya, tetapi juga memperkuat denyut ekonomi kreatif di Ubud. ***