Bandung – Gelombang ketidakpuasan mengguncang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyusul pengumuman tiga nama yang lolos sebagai calon rektor. Sejumlah anggota Senat Akademik (SA) lantang menyuarakan protes keras terhadap proses penjaringan yang dinilai sarat kejanggalan dan mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Majelis Wali Amanat (MWA).
Mereka mempertanyakan fondasi transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pemilihan pemimpin tertinggi universitas.
Amung Ma’mun, Guru Besar FPOK UPI, dengan nada tegas mengungkapkan keraguannya terhadap legitimasi penetapan tiga besar calon rektor. Merujuk pada Pasal 17 Peraturan MWA UPI Nomor 1 Tahun 2025, ia menyoroti empat kriteria krusial yang seharusnya menjadi landasan penilaian: hasil asesmen tim independen, rekam jejak, pemaparan kertas kerja, dan pertimbangan anggota SA.
“Mencermati keempat kriteria tersebut, kami menemukan celah ketidakpercayaan terhadap hasil penetapan yang dilakukan oleh MWA,” ujarnya kepada awak media, Selasa (6/5/2025), menyiratkan adanya proses yang diselimuti kabut ketidakjelasan.
Lebih lanjut, Amung Ma’mun mengingatkan bahwa jabatan Rektor UPI adalah amanah publik, sehingga proses pemilihannya pun tak luput dari sorotan dan hak masyarakat untuk mengetahui. Tuntutan akan keterbukaan hasil penilaian tim independen dan pertimbangan SA yang menjadi dasar keputusan MWA menjadi representasi dari keinginan akan akuntabilitas yang sesungguhnya.
“Proses pengambilan keputusan untuk mengerucutkan sembilan bakal calon menjadi tiga terkesan dilakukan di balik pintu tertutup,” kecamnya.
Baginya, fakta integritas yang diagung-agungkan hanyalah sekadar formalitas tanpa Implementasi nyata.
Senada dengan itu, Edi Suryadi, anggota SA lainnya, menyuarakan kekecewaannya atas sikap MWA yang terkesan mengabaikan aspirasi sembilan anggota SA yang sebelumnya telah disampaikan dalam forum audiensi. Permintaan untuk meninjau kembali Peraturan MWA Nomor 1/2025 yang dianggap bertentangan dengan Statuta UPI seolah tak berbekas.
“Dalam audiensi, sempat terlontar janji dari anggota MWA bahwa hasil asesmen kompetensi kepemimpinan dan manajerial tim independen akan menjadi tolok ukur utama. Namun, kenyataannya, proses dan hasil penetapan calon rektor justru diselimuti kerahasiaan, baik bagi para bakal calon maupun civitas akademika,” ungkap Guru Besar FPEB UPI ini dengan nada getir.
Pernyataan retoris Ketua MWA dan Ketua Panitia Pemilihan Rektor UPI tentang objektivitas dan transparansi pun tak luput dari sorotan tajam Edi Suryadi. Ia bahkan mengungkit pernyataan bernada sakral tentang pertanggungjawaban panitia di dunia dan akhirat, yang ironisnya berbanding terbalik dengan praktik yang terjadi.
Lebih jauh, Edi Suryadi membuka potensi gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai respons atas ketidakpuasan ini. Dua poin krusial yang berpotensi menjadi materi gugatan adalah Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 terkait metode pemungutan suara yang dinilai janggal dan bertentangan dengan Statuta UPI, serta proses pemilihan calon rektor yang diduga kuat mengabaikan parameter penilaian tim independen, rekam jejak, dan presentasi kertas kerja secara objektif.
“Ini artinya, MWA diduga melanggar peraturan yang mereka buat sendiri,” tegasnya, menyiratkan adanya inkonsistensi dan potensi pelanggaran prosedural.
Keputusan MWA menetapkan Didi Sukyadi, Vanessa Gaffar, dan Yudi Kusmayadi sebagai tiga calon rektor UPI periode 2025-2030 melalui sidang tertutup pada Senin (5/5/2025) kini menuai badai kritik. Klaim Ketua Panitia Pemilihan Rektor UPI, Nu’man Abdulhakim, tentang objektivitas penilaian dan keterlibatan lembaga independen seolah tak mampu meredam gelombang protes yang semakin membesar.
Publik kini menanti transparansi dan pertanggungjawaban yang sesungguhnya dalam proses krusial pemilihan pemimpin masa depan UPI. ***