Polemik Pemilihan Rektor UPI: Senat Akademik Geruduk MWA, Tuntut Keadilan Suara!

Anggota Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menilai metode person three vote dalam memilih tiga calon dari sejumlah bakal calon rawan praktik pemufakatan jahat..

25 April 2025, 20:02 WIB

Bandung – Sembilan anggota Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) untuk segera merevisi Peraturan MWA Nomor 1/2025 terkait pemilihan rektor periode 2025-2030.

Desakan ini didasari kekhawatiran adanya pasal yang berpotensi memicu konspirasi, melanggar prinsip demokrasi, serta bertentangan dengan Statuta UPI.

Kritik utama SA UPI tertuju pada Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025 yang mengatur mekanisme penyaringan bakal calon rektor. Pasal tersebut menetapkan sistem one person three vote dalam memilih tiga calon dari sejumlah bakal calon.

Anggota SA menilai metode ini rawan praktik permufakatan jahat (konspiratif) untuk meloloskan calon-calon tertentu dan mengabaikan kandidat potensial lainnya.

Elly Malihah, perwakilan sembilan anggota SA, mengungkapkan kekecewaan atas praktik pemilihan anggota MWA sebelumnya yang menggunakan metode one person nine vote. Ia menilai praktik tersebut jelas menunjukkan adanya konspirasi dan bersifat antidemokrasi, menciptakan hegemoni dan tirani mayoritas.

Meskipun demikian, harapan sempat muncul ketika Ketua MWA UPI, Nanan Soekarna, mencanangkan tagline “values for value, full commitment, no conspiracy” dalam pengumuman awal pemilihan rektor. SA memberikan apresiasi atas tekad tersebut dan kemudian mengajukan audiensi kepada Ketua MWA.

Setelah penantian lebih dari dua minggu, pertemuan antara SA dan MWA akhirnya terlaksana pada 15 April 2025 di University Center UPI. Dalam pertemuan tersebut, SA menyampaikan secara langsung keberatan mereka terhadap Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025. Mereka berpendapat bahwa pasal ini tidak hanya berpotensi konspiratif dan antidemokrasi, tetapi juga melangkahi Statuta UPI.

Lebih lanjut, SA menyoroti bagaimana Pasal 17 secara signifikan mengurangi proporsi suara Menteri Pendidikan Tinggi dari seharusnya 35 persen menjadi hanya satu suara pada tahap penyaringan. Padahal, menurut SA, hak istimewa suara Menteri sebesar 35 persen seharusnya berlaku di seluruh tahapan pemilihan rektor, mulai dari penjaringan, penyaringan, hingga pemilihan. Mereka menilai peraturan MWA yang menyamakan suara Menteri dengan anggota MWA lainnya sebagai cacat hukum.

Oleh karena itu, SA UPI menuntut revisi Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025 menjadi sistem one person one vote dan mengembalikan hak suara Menteri menjadi 35 persen. Mereka menegaskan bahwa tanpa perubahan ini, tagline “values for value, full commitment, no conspiracy” hanya akan menjadi retorika kosong. Lebih jauh, SA memperingatkan bahwa peraturan MWA yang tidak direvisi berpotensi menimbulkan masalah hukum yang dapat mengganggu keseluruhan proses penetapan rektor.

Senada dengan itu, Guru Besar bidang Ilmu Manajemen UPI, Nugraha, menekankan bahwa prinsip one man, one vote merupakan fondasi utama demokrasi yang sehat dan adil, terutama dalam lingkungan akademik.

Nugraha menilai praktik one man three vote membuka celah bagi konspirasi kekuasaan, di mana kelompok mayoritas dapat dengan mudah mengamankan hasil voting sebelum musyawarah yang sesungguhnya terjadi, sekaligus mereduksi suara kelompok lain.

Nugraha juga menyoroti dampak negatif dari praktik suara ganda ini terhadap pengambilan keputusan strategis di UPI, mulai dari pemilihan rektor hingga perencanaan anggaran dan pengawasan, yang menjadi rentan dikuasai oleh kepentingan kelompok tertentu. Ia mempertanyakan representasi keadilan bagi seluruh civitas akademika jika satu orang dapat memiliki banyak suara.

Oleh karena itu, ia menyerukan reformasi sistem pemungutan suara di UPI secara menyeluruh, termasuk dalam penetapan anggota SA di tingkat fakultas, pemilihan anggota MWA oleh SA, dan pemilihan calon rektor oleh MWA. ***

Berita Lainnya

Terkini