Belum Diakui Adat, Perkawinan Padagelahang Kian Populer di Bali

6 Agustus 2016, 12:34 WIB
Diskusi Kamisan di IHDN  Denpasar (istimewa)

DENPASAR – Perkawinan Padagelahang terus menjadi perbincangan apalagi model ini cukup dipakai pasangan pengantin untuk menempuh jenjang grahasta.  Berbagai penelitian bahkan menunjukkan, perkawinan ini bisa menjadi solusi dengan menitikberatkan kesepakatan antar keluarga.

Diketahui, perkawinan padagelahang merupakan sebuah model perkawinan dengan konsep saling memiliki yang dilatarbelakangi dengan masing-masing pasangan pengantin dalam keluarga sebagai anak tunggal.

Bisa juga sebagai anak yang dipercaya meneruskan kewajiban dan warisan.

Di beberapa daerah di Bali, sistem perkawinan ini, memiliki berbagai nama diantaranya negen dua, mapanak bareng, hingga nadua umah. Disebut-sebut, perkawinan ini menjadi altetnatif. Hanya saja, kenyataanya, sistem pernikahan ini meninggalkan berbagai persoalan serius.

Persoalan muncul seperti perebutan keturunan, melaksanakan kewajiban, hingga perdebatan sengit dalam pembagian warisan.

Sistem perkawinan yang dipopularkan Pakar Hukum dan Adat Bali  Prof Wayan P. Windya menjadi perbincangan hangat dalam  Diskusi Kamisan yang digagas  Akademisi IHDN  Denpasar.

Diskusi mengusung tema “Menyoal Dampak Hukum Adat Perkawinan Padegelahang di Bali” yang berlangsung di kantor PHDI Bali Jl Ratna no 71, Denpasar, Jumat  5 Agutus 2016.

Pakar Antropologi IHDN Dr I Nyoman Yoga Segara berpandangan, menjadi persoalan bagi mereka yang berbeda wangsa.

Hal itu, menjadi dilema dan tidak menutup kemungkinan mereka yang menikah dengan etnis lain atau agama lain.

“Bahkan dengan WNA, meskipun mustahil menggunkan perkawinan Padegelahang,” tutur Yoga Segara.

Meskipun perkawinan  Padegelahang kian popular di masyarakat belum sepenuhnya diterima baik krama Bali.

Pasalnya, berbagai faktor internal yang masih mengganjal mulai garis  keturunan (purusa), kepercayaan reinkarnasi hingga pembagian warisan. Sehingga implikasi-implikasi bidang budaya, agama dan sosial.

Sejauh ini, awig-awig di desa pakraman belum mengakomodir  perkawinan Padagelahang. Sehingga porsi tawar sistem perkawinan ini belum diakui secara legal oleh desa adat.

“Yang masih bisa diterima adalah memandik, nyentana  dan ngerorod, ” imbuh Gede Sutarya, Dosen Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar, pembicara lain dalam diskusi.

Pengalaman sulitnya menerim konsep kawin pagelahang diakui  

I Gusti Nara Kusuma. Warga Gianyar yang juga peserta diskusi, bertutur pengalaman sulitnya menerima konsep kawin pagelahang di mana dirinya dalam waktu dekat akan melangsungkan pernikahan putra tunggalnya dengan calon pengantin asal Badung.

Sayangnya perkawinan yang dilangsungkan tidak berjalan mulus. Pasalnya, sang calon mantu merupakan pewaris tunggal dalam keluarga besarnya.

Pihak perempuan menawarkan perkawinan padagelagang sebagai solusi.

Hanya saja, Nara Kusuma beserta keluarga belum sepenuhnya bisa menerima mengingat berbagai pertimbangan.

“Bukan bermaksud membangkitkan feodalisme. Memang wangsa kami berbeda. Disamping itu pertimbangan status keturunan nantinya. Karena kami percaya reinkarnasi. 

Sehingga saya masih bingung sebagai orang tua. Memang anak saya dan pacarnya saling cinta sejak lama,”tuturnya..

Karenanua, dia berharap forum diskusi bisa mencarikan solusi terbaik. Sehingga kedua belah keluarga bisa menerima.

I Nyoman Alit  Putrawan dari pihak PHDI Bali memaparkan tujuan dari perkawinan dalam agama Hindu untuk melanjutkan keturunan, dan  melaksanakan yadnya.

Apa pun bentuknya, dalam prosesnya perkawinan  tidaklah diatur baku dalam Hindu. Ada fleksibel, asalkan ada kesepkatan antar duabela pihak keluarga.

Dalam Hindu perkawinan sah dilakukan dengan siapa saja atas dasar cinta. Tidak memandang jabatan, status sosial atau kasta.

“Karena reinkarnasi  itu ditentukan oleh karma wasana masing-masing. Embel-embel wangsa, titel dan seterusnya tidak berarti,” sambungnya.

Terkait sistem perkawinan, dalam diskusi menekankan pentingnya kesepakatan  bersama. Jika padagelahang dIpilih, tentu perlu diatur batasan-batasan hak dan kewajiban secara tertulis.

Para akademisi pun mendesak agar PHDI memikirkan lembaga khusus dalam menangani pra nikah dalam menyikapi berbagai kasus pernikahan  dalam umat Hindu semacam lembaga konseling.

Diskusi diikuti oleh akademisi, PHDI Bali, mahasiswa, Peradah Bali dan elemen masyarakat. (gek)

Berita Lainnya

Terkini