MAGELANG – Sebuah perhelatan budaya tahunan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) kembali digelar dengan mengusung tema “Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara”.
Dalam ajang besutan Samana Foundation bersama Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Indonesia ini, melibatkan 300 penulis dan budayawan, akademisi, pakar sejarah, sastrawan, arkeolog, rohaniwan, penulis buku, dalang, filolog dan lainnya.
BWCF digelar 5 hingga 8 Oktober 2016 di beberapa tempat di Magelang dan Yogyakarta, yaitu di The Heritage, Convention Center, Hotel Plataran, Borobudur; Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Ngablak, Gunung Andong, Magelang; Hotel Atria, Magelang; SMA Seminari Mertoyudan, Magelang;
Di Pendopo Ndalem Ageng Pesanggrahan, Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Pembukaan acara pada tanggal 5 Oktober dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
“Tahun 2016 ini BWCF memasuki penyelenggaraannya yang kelima, dengan tema “Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara,” jelas Yoke Darmawan selaku Direktur Festival BWCF dalam siaran pers diterima Kabarnusa.com Jumat (7/10/2016)
Acara festival meliputi: seminar, pidato kebudayaan, musyawarah penerbit-penulis, workshop penulisan cerita pendek, pameran foto, pameran lukisan, pergelaran kesenian dari berbagai daerah di Indonesia, dan pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award.
Para pembicara dan moderator yang akan tampil pada acara seminar adalah Prof. Dr. Timbul Haryono, Dr. Karsono W. Saputro, Kartika Setyawati, Agus Wahyudi, KH. Agus Sunyoto, Dr. Halilintar Lathief, Dr. Muhlis Hadrawi, Dwi Cahyono, M.Hum., Dr. Sirtjo Koolhof, Tommy Christomy, Ph.D., Prof. Dr. Robert Sibarani, Elizabeth D. Inandiak , Salfia Rahmawati, Raja Suzana Fitri, Dr. Gadis Arivia, Dr. Emanuel Subangun, Dr. Katrin Bandel, Dinar Rahayu, Dr. Kris Budiman, Prof. Dr. Suwardi Endraswara, Prof. Dr. Faruk HT, Otto Sukatno CR. Juga pidato budaya oleh Garin Nugroho.
Acara tak kalah penting lainnya, Musyawarah Penerbit-Penulis bersama Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) yang akan merintis berdirinya asosiasi penerbit-penulis Indonesia.
Juga, agenda workshop penulisan kreatif bersama harian Kompas dengan mentor Putu Fajar Arcana dan Joko Pinurbo.
Pada malam harinya diadakan pertunjukan kesenian dari berbagai daerah di antaranya Seribu Topeng oleh Sujopo Sumarah Purbo (Malang), Komunitas Lima Gunung (Magelang), PM Toh (Aceh), Tari Fomani (Pulau Siompu, Buton), Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan), Reyog Bulkiyo (Blitar), Ganzer Lana (NTT), Tari Centhini oleh koreografer Heri Lentho (Surabaya), Lamalera Band (NTT), DnD Music (Yogyakarta), dan pementasan Serat Centhini oleh Agnes Christina (Jakarta). Selain itu akan tampil para penyair yang mementaskan puisinya, yaitu Oka Rusmini, Cyntha Hariadi, Ni Made Purnama Sari, Norman Erikson Pasaribu, F. Aziz Manna dan Sosiawan Leak
Pameran foto oleh Fendi Siregar yang telah bertahun-tahun melakukan perjalanan budaya napak tilas Serat Centhini serta pameran lukisan yang oleh Lenggeng Art Foundation.
“Seluruh rangkaian acara akan ditutup dengan pemberian Sang Hyang Kamahayanikan Award 2016 yang akan diberikan kepada tokoh yang berjasa melakukan pengembangan dan pengkajian sejarah dan peradaban Nusantara,” imbuh Yoke.
Festival ini mengangkat kekayaan khazanah budaya Indonesia yang sangat kaya, yaitu khazanah yang terhiumoun dariberbagai etnikdari Aceh hingga Papua.
khazanah itu adalah panorama kebudayaan yang potensial untuk dijadikan basis kreatif. kebudayaanbangsa Aceh, Batak, Melayu, Jawa, Sunda, Bali, Ternate, Bugis, Nusa Tenggara dan lain-lain.
Dokumentasi tentang pelbagai kuliner, obat-obat tradisional, arsitektur, senitradisi, teknologi, seksmisalnyabisamenjadibahan yang menantang untuk diolah menjadi karya baru di masa kini.
Borobudur Writers & Cultural Festival 2016, adalah langkah awal untuk mengolah khazanah tradisi sendiri.
Tidak sebatas pada Serat Centhini, forum budaya ini juga menjelajahi kekayaan kitab kitab klasik dari budaya Melayu, Bugis, Sunda, batak, Jawa pinggiran dan lain-lain.
BWCF adalah sebuah festival budaya yang berbeda dengan festival sejenis karena selalu mengangkat khazanah budaya Nusantara, terutama dalam perspektif sastra maupun dari sisi kajian sejarah dan arkeologis.
Meski selama ini telah muncul berbagai kajian oleh para peneliti dari dalam negeri maupun luar negeri, semua itu belum sepenuhnya mengungkapkan masa silam Nusantara yang sangat kaya.
Maka BWCF memfokuskan diri pada telaah dan perayaan khazanah budaya Nusantara untuk memahami lebih mendalam kekayaan pengetahuan karya-karya besar berikut manifestasi ekspresifnya di masa lalu, masa kini dan segenap pilihan inseminasi kreativitas di masa depan.
“Perayaan ini dilakukan di kawasan sekitar candi Borobudur yang merupakan monumen besar peradaban Nusantara,” sambung Yoke.
Secara khusus, BWCF tahun ini hendak merayakan Serat Centhini, yaitu sebauah karya besar kesusastraan Jawa yang mengandung pengetahuan sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, falsafah, agama, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kekebalan, perlambang, hingga perihal flora, fauna, dan seni.
Dalam kitab ini juga terdapat ulasan mengenai khazanah erotika. Naskah adalah “ensiklopedi” kehidupan orang Jawa hingga awal abad ke-19.
Khusus mengenai ulasan perihal erotisisme yang berkaitan dengan pandangan religius, hal itu memperlihatkan
pandangan yang bertolak dari Tantrayana yang berkembang pada masa-masa sebelumnya, yaitu pada masa Singasari dan Majapahit.
Pandangan tentang erotisisme semacam itu tidak hanya terdapat pada kitab-kitab sastra klasik, melainkan berlanjut pada karya sastra kontemporer.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, Serat Centhini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dengan versi lebih singkat, pelbagai novelisasi, seni tari, teater, fotografi, ziarah perjalanan tempat-tempat dan rekontruksi kuliner yang tercantum di dalamnya.
Segala kegiatan tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap Serat Centhini sebagai kitab klasik budaya Jawa.
Selain Serat Centhini, BWCF tahun ini juga merayakan karya besar Nusantara lainnya, yakni epos panjang, bahkan dapat dikatakan yang terpanjang di dunia, yaitu Sureq Galigo atau I La Galigo yang diciptakan oleh masyarakat Bugis pada abad ke-13.
Kitab besar ini berisi kisah penciptaan manusia dan petualangan tokoh Sawerigading ke berbagai penjuru dunia. Kitab ini dapat dikatakan sebagai “esiklopedi” Bugis tentang kehidupan manusia dan segala hal yang berkaitan dengan alam semesta.
Dengan perayaan khazanah budaya Nusantara melalui pertemuan antara para penulis dan pekerja kreatif serta aktivis budaya dengan masyarakat pada umumnya diharapkan muncul pemahaman interkultural yang berbasis pada pengembangan dan perluasan pengetahuan.
Dengan begitu, para kreator budaya maupun masyarakat yang hidup dalam budaya-budaya tersebut dapat memanfaatkan segala khazanah yang ada untuk mempyokesikan masa depan yang lebih baik. (des)