Presiden Joko Widodo diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk mengemban amanah mengelola jalannya pemerintahan dan pembangunan Indonesia yang keduakalinya atau periode kedua masa bakti 2019-2024.
Periode pertama, Presiden dilantik pada 20 Oktober 2014, berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan diperiode kedua Wakil Presidennya adalah ulama, yaitu KH. Ma’ruf Amin yang berasal dari organisasi Islam terbesar Nahdhatul Ulama (NU).
Dengan demikian, Presiden Joko Widodo telah memegang tampuk kepemimpinanNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih dari 6 (enam) tahun.
Namun, bagaimanakah perjalanan ekonomi bangsa dan negara selama satu tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin? Berikut catatan berdasarkan perspektif Ekonomi Konstitusi:
Tahun Anggaran 2020 telah berakhir seiring dengan datangnya tahun baru 2021, tentu dengan tetap membawa rasa optimisme agar hari ini dan esok lebih baik dari hari kemarin.
Namun, juga tetap bersikap realistis dan obyektif kita harus menilai apakah tugas pokok dan fungsi Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah ditunaikan sesuai janji kampanyenya?
Sangat layak dan waktu yang juga tepat memberikan penilaian evaluatif tahunan atas apa yang dahulu telah menjadi prioritas pembangunan dan sejauh mana capaian realisasi janji kampanye Presiden.
Sebagaimana diketahui publik saat masa kampanye Pemilihan Presiden secara langsung untuk periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah menyampaikan sebuah janji kampanye baru yang menjadi fokus perhatian dengan program kerja serta diajukan dengan kepercayaan diri yang tinggi akan bisa tercapai.
Termasuk adanya kendala soal keuangan negara atas program ambisius itu yang disangsikan berbagai pihak, namun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo kala itu saat debat calon Presiden pada Tahun 2014 bahwa anggaran untuk memenuhi janji yang termaktub dalam TRISAKTI dan NAWACITA itu sudah tersedia, dan tak perlu dikhawatirkan.
Presiden Joko Widodo pada periode pertama memasyarakatkan istilah TOL LAUT dalam rangka mengatasi berbagai kendala infrastruktur yang berakibat pada mahalnya biaya logistik di Indonesia dan berakibat pada biaya pokok produksi yang tinggi membuat kalahnya daya saing produk-produk Indonesia dibanding produk-produk negara lain.
Sementara calon Presiden Prabowo Subianto yang mempunyai nomor urut 1 (satu) justru mempertanyakan ketersediaan sumber pendanaan untuk merealisasikan janji-janji kampanye yang banyak tersebut, bahkan dengan alasan banyaknya kebocoran anggaran hal itu akan sulit tercapai.
Bagaimanakah kemajuan capaian dan realisasi janji-janji kampanye tersebut
tepat pada masa separuh lebih perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo
pada periode pertama dan setelah satu tahun mengemban amanah pada periode
kedua, dan secara praktis efektif masih menyisakan 4 (empat) tahun masa
jabatan dengan potensi 2 (dua) tahun sebelum berakhir akan dipenuhi secara
dominan oleh kepentingan politik kekuasaan periode 2024-2029.
Perhatian Presiden petahana (incumbent) akan lebih banyak tertuju kepada para calon Presiden pengganti sebagai persiapan mengamankan suksesi kepemimpinannya serta persiapan Pemilu Legislatif pada Tahun 2024.
Secara umum, dari berbagai hasil kinerja pemerintahan yang telah dipublikasikan oleh berbagai lembaga surve. pada periode 2014-2019, menunjukkan bahwa responden 60 persen lebih menyatakan kepuasan atas kinerja Presiden Joko Widodo.
Tentu saja hasil belum bisa mewakili keseluruhan sikap masyarakat Indonesia, namun cuma memberikan gambaran keterwakilan subyektif-kualititaf saja.
Meskipun demikian, hasil survey dari lembaga Indikator Politik justru menunjukkan kecenderungan semakin rendahnya kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sebanyak 55 persen masyarakat menilai bahwa kondisi ekonomi tanah air saat ini buruk, dan kondisi ekonomi Indonesia sudah mulai buruk sebelum adanya pandemi covid 19 serta semakin kontraksi pada Mei 2020 atau saat virus Covid-19 mewabah.
Perlu kiranya data ekonomi makro yang selama ini selalu dipakai dalam menilai evaluasi kinerja pembangunan pemerintahan sangat relevan digunakan untukmenilai hasil antara apa yang telah direncanakan (janji kampanye) dengan apa yang telah dicapai atau realisasi janji tersebut, lalu bagaimana pula halnya dengan pelaksanaan konstitusi ekonomi, apakah Trisakti (diantaranya kemandirian ekonomi) dan Nawacita itu hanya slogan belaka saat kampanye?
Untuk itulah publik perlu dan patut menilai hasil kinerja pemerintahan secara masuk akal (rasional) dan obyektif, diantaranya adalah soal Ekonomi Makro dan Konstitusi.
Perkembangan Ekonomi Makro
Memasuki Triwulan II 2020, perekonomian Indonesia telah mengalami kemerosotan, yaitu sebesar -5,32% (YoY); pada Triwulan III 2020 membaik menjadi sebesar -3,49% (YoY).
Angka pertumbuhan sebagian besar merupakan kontribusi dari konsumsi pemerintah yang meningkat sangat tajam, yaitu 9,8% apabila dibandingkan Triwulan II yang mengalami negatif, yaitu -6,9%, atau titik baliknya (turning point) melebihi 17%.
Sebuah kinerja perekonomian terburuk yang pernah dicapai sepanjang sejarah pemerintahan pasca Orde Baru atau dalam masa reformasi selama 22 tahun.
Sedangkan pada Triwulan I 2020 BPS mencatat pertumbuhan ekonomi hanya mencapai
2,97 persen (year-on-year/yoy), dan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2020 ini mencapai -2,41 persen (quartal-to-quartal/qtq), lebih rendah dari triwulan IV 2019 yang -1,74 persen (qtq)
Jika capaian pada Tahun 2015 dalam masa setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai dan diperbandingkan pun, alih-alih Tahun 2014 masih separuh lebih adalah kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai pada masa setahun Presiden Joko Widodo memimpin hanya dapat dicapai sebesar 4,79 persen adalah pencapaian TERENDAH selama masa 6 tahun terakhir, sementara itu pada Tahun 2016 pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai sebesar 5,02 persen saja berdasar data Badan Pusat Statistik yang sudah dipublikasikan secara luas dan
Artinya, dari tahun 2015-2016 hanya terdapat kenaikan angka relatif pertumbuhan ekonomi sebesar 0,23 persen, tidak sampai perempatan dari 1 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2017 sampai dengan Kuartal II hanya mencapai sebesar 5,01 persen dan punya potensi untuk angka tahunan kami perkirakan saat itu tak lebih dari sebesar 5,02 persen (realisasi dicapai 5,07%).
Dilain pihak, jumlah kemiskinan pada Tahun 2015 adalah sejumlah 28,51 juta
atau sebesar 11,22 persen, sedangkan pada Tahun 2016 jumlah kemiskinan
mencapai 27,76 juta atau sebesar 10,7 persen. Memang terdapat penurunan angka
kemiskinan sebesar 0,32 persen dibandingkan dengan Tahun 2015.
Artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 0,23 persen menurunkan
angka kemiskinan hanya sebesar 0,32 persen saja atau sejumlah 360.000 orang
berdasarkan data Badan Pusat Statistik.
Pada Tahun 2017 sampai dengan bulan Maret 2017 jumlah kemiskinan mencapai angka 27,77 juta atau ada kenaikan sebesar 100 ribu jiwa walaupun secara relatif menurun menjadi 10,64 persen yang berarti menunjukkan terjadinya adanya kontribusi dari kenaikan jumlah penduduk.
Pada periode kedua pemerintahannya, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen.
Jumlah ini meningkat 0,56 persen terhadap keadaan yang terjadi pada bulan September 2019 dan meningkat 0,37 persen dibandingkan bulan Maret 2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Atau naik sebanyak 1,3 juta orang (dari 9,86 juta orang pada September 2019 menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020).
Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah naik menjadi 12,82 persen pada Maret 2020 dibandingkan September 2019 sebesar 12,60 persen. Atau naik sebanyak 333,9 ribu orang (dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020).
Garis Kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp 454.652 per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 335.793 (73,86 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 118.859 (26,14 persen).
Pada Maret 2020, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,66 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.118.678 per rumah tangga miskin per bulan.
Ketimpangan pendapatan antar masyarakat Indonesia terjadi selama pandemi COVID-19 yang diukur dengan Rasio Gini (Gini Ratio) terdapat kenaikan tipis dari 0,380 menjadi 0,381 pada Maret 2020.
Rasio Gini yang meningkat tipis sekali ini tidak bisa disimpulkan dampak pandemi covid 19 yang baru saja dialami, tapi memang telah terjadi perlambatan ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya.
Peningkatan rasio gini dari angka 0,380 ke 0,381 ini sebagai melambatnya
perekonomian juga terjadi di wilayah perkotaan maupun di perdesaan serta
terdapat pengaruh COVID-19 yang membuat pendapatan seluruh masyarakat menurun
drastis.
Menurut data BPS, peningkatan rasio gini pada bulan Maret 2020 yang tertinggi
kembali terjadi di Ibu Kota DKI Jakarta, yaitu sebesar 0,008 poin.
Rasio gini di daerah perkotaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,393, naik
dibanding September 2019 yang sebesar 0,391 dan Maret 2019 yang sebesar 0,392.
Rasio gini di daerah perdesaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,317, naik
dibanding September 2019 yang sebesar 0,315 dan tidak berubah dibanding Maret
2019 yang sebesar 0,317.
Secara umum, dengan demikian angka kinerja ekonomi makro Indonesia yang
berturut-turut 2 (dua) kuartal mengalami kemerosotan ekonomi (istilah Menteri
Keuangan RI pertumbuhan minus) menunjukkan potensi ke arah resesi ekonomi..
Keadaan ini diperburuk oleh laporan BPS yang mencatat jumlah pengangguran
periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Dengan
demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar
9,77 juta orang.
Bahkan pandemi virus corona 19 (Covid-19) telah membuat tingkat pengangguran
terbuka (TPT) di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07
persen. Atau telah terjadi kenaikan pengangguran sebesar 2,67 juta selama
semester I 2020.
Jika dilihat berdasarkan lokasi, jumlah pengangguran di kota mengalami
peningkatan lebih tinggi dibandingkan di desa. Di kota, tingkat pengangguran
meningkat 2,69 persen sementara di desa hanya 0,79 persen.
Seain itu, peningkatan TPT disebabkan oleh peningkatan jumlah angkatan kerja
per Agustus 2020 sebesar 2,36 juta orang menjadi 138,22 juta orang. Meskipun
terjadi kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 0,24 persen
sehingga menjadi 67,77 persen namun terjadi penurunan jumlah penduduk yang
bekerja.
Penduduk yang bekerja pada periode Agustus 2020 sebanyak 128,45 juta orang
menurun 0,31 juta orang dibanding periode Agustus 2019. Lapangan pekerjaan
yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah sektor pertanian (2,23
persen poin).
Sementara sektor yang mengalami penurunan terbesar yaitu sektor industri
pengolahan (1,30 persen poin).
Terjadi penurunan jumlah pekerja penuh sebanyak 9,46 juta pekerja, di sisi
lain terjadi peningkatan jumlah pekerja paruh waktu atau setengah menganggur
sebesar 4,83 juta orang.
Dan, dominasi pekerjaan hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian
dengan kontribusi sebesar 29,76 persen, kemudian perdagangan sebesar 19,23
persen, dan industri pengolahan sebesar 13,61 persen.
Walaupun ada pergeseran jumlah penduduk bekerja di pertanian yang meningkat
2,23 persen, demikian juga halnya dengan sektor perdagangan terutama
perdagangan eceran yang meningkat 0,46 persen, jasa lainnya meningkat tipis,
serta jasa kesehatan dan informasi serta kominukasi mengalami peningkatan.
Namun, dapat dipastikan, bahwa hampir seluruh sektor terjadi pengurangan
jumlah penduduk yang bekerja terutama untuk idustri pengolahan terjadi
pengurangan sebsar 1,30 persen.
Jumlah pengangguran dari total angkatan kerja sebesar 122,4 juta jiwa di
Indonesia pada Tahun 2015 adalah sebesar 7,6 juta orang atau sebesar 6,2
persen juga angka pengangguran terburuk selama 3 tahun terakhir.
Sedangkan pada Tahun 2016 total angkatan kerja menjadi 127,8 juta jiwa dan
angka pengangguran adalah sejumlah 7,02 juta orang atau sebesar 5,5 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa dari kenaikan angka angkatan kerja yang mencapai 5,4
juta orang atau sebesar 9,5 persen, pemerintah hanya mampu mengatasi
pengangguran hanya sebesar 0,7 persen saja dari tahun sebelumnya.
Apabila dibandingkan dengan angka pada Tahun 2017 (bulan Maret) jumlah
angkatan kerja total saat itu mencapai 131,55 juta sedangkan angka
pengangguran mencapai 7,01 juta orang atau sebesar 5,33 persen, mengalami
penurunan sejumlah 100 ribu orang tetapi dengan adanya lonjakan angkatan kerja
yang besar.
Ketimpangan pendapatan masih menjadi isu utama yang sangat krusial, walau
pemerataan pembangunan infrastruktur yang mengatasi isu politik dan
permasalahan Pulau Jawa dan Luar Jawa diatasi.
Rasio gini Indonesia, yaitu besaran relatif ketimpangan pendapatan atas
Produksi Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan pada Tahun 2015 adalah sebesar
0.41 poin, maka pada Tahun 2016 turun menjadi 0,39 poin atau berkurang jarak
ketimpangan sebesar 0,01 poin saja.
Sedangkan pada Tahun 2017, rasio gini Indonesia tak bergeser dari angka 0,39
poin.
Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada Tahun 2015 adalah sebesar Rp4.192
triliun berdasarkan data Bank Indonesia. Pada Tahun 2016 posisi Utang Luar
Negeri Indonesia telah meningkat menjadi Rp4.347 triliun atau naik sejumlah
Rp155 triliun atau sebesar 3,56 persen.
Sedangkan pada Tahun 2017, posisi Utang Luar Negeri Indonesia telah menjadi
Rp4.478 triliun atau naik lagi sejumlah Rp131 Triliun.
Ditengah pandemi covid 19, publik kembali dikejutkan oleh laporan Bank Dunia
yang bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021 (Statistik Utang
Internasional) pada 12 Oktober 2020 lalu yang memuat tentang peringkat
negara-negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar.
Dan, ternyata Indonesia masuk menjadi salah satu diantaranya dengan jumlah
Utang Luar Negeri (ULN) sampai Tahun 2018 sejumlah US$402,08 Miliar atau
setara Rp5.910,57 Triliun (kurs 1 dollar=Rp14.700).
Meskipun publikasi data itu mendapat bantahan dari pihak Kementerian Keuangan
dengan menyatakan, bahwa laporan dari Bank Dunia tidak tepat.
Sebab, lembaga ekonomi dan keuangan internasional itu menggunakan basis data
ULN Indonesia sebagai pembanding jumlah utang luar negeri negara lain di
kategori penghasilan rendah dan menengah.
Perkembangan Utang Luar Negeri yang setiap tahun meningkat dan kontribusi PDB
yang stagnan mengindikasikan tak berjalannya roda perekonomian seperti yang
diharapkan Presiden secara meroket walau telah mengeluarkan 16 paket kebijakan
ekonomi pada periode 2014-2019 pemerintahannya.
Pada periode kedua masa baktinya (2019-2024), Presiden menerbitkan berbagai
peraturan dan per-Undang-Undangan untuk mempermudah pelaksanaan investasi dan
penciptaan lapangan kerja melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law), UU Mineral dan
Batubara yang menuai protes publik karena penuh kontroversi.
Daftar peringkat negara yang terbesar ULN nya berdasar Laporan Bank Dunia itu
merupakan jumlah total dari suatu negara atau tidak memisahkan antara utang
pemerintah dan swasta.
Jika dibandingkan dengan 10 negara yang disebutkan dalam laporan Bank Dunia
itu, maka sebagian besar utang pemerintahnya di atas 50 persen, walaupun
posisi Indonesia tidak jauh berbeda yaitu 49 persen, berada pada peringkat
ke-7 bersama satu negara anggota ASEAN lainnya yang berada diperingkat 10.
Inilah kenyataan empirik tingginya ULN Indonesia sebagai konsekuensi masuk
dalam jajaran negara G20 alias negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia,
yaitu berada di peringkat ke-16 dan dengan utang besar diantara negara-negara
tersebut.
Berdasarkan paparan jajaran Kementerian Keuangan saat rapat kerja dengan
Komisi XI DPR RI, pada Hari Senin tanggal 7/9/2020, rasio utang tercatat
sebesar 34,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Walaupun tingkat rasio utang hingga Agustus 2020 tersebut telah mendekati
sasaran (target) yang diinginkan pemerintah yang berada di kisaran 37,6
persen, seharusnya kinerja pengelolaan ULN yang baik adalah rasio semakin
menurun.
Bahkan yang tak masuk akal lagi, Sri Mulyani malah kembali menarik utang baru
atau pembiayaan utang sebesar Rp810,8 Triliun hingga akhir September 2020.
Kenaikan pembiayaan tersebut mencapai 155,1% dibandingkan periode yang sama
pada tahun lalu yang hanya Rp 317,9 Triliun ditengah kemerosotan ekonomi
(disebut pertumbuhan ekonomi minus) sebesar -5,32 persen pada Kuartal II Tahun
2020 dan berpotensi akan minus lagi lebih dari 3 persen pada Kuartal III Tahun
2020, semakin menunjukkan bukti ULN tak efektif.
Data yang dipublikasikan Kementerian Keuangan menyampaikan soal posisi utang
pemerintah di akhir Tahun 2018 yang mencapai sejumlah Rp 4.418 Triliun dan
membenarkan, bahwa selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), jumlah
utang pemerintah naik sejumlah Rp 1.809 Triliun.
Pertambahan utang pemerintah Jokowi yang berjalan selama 4 tahun ini, lebih
besar ketimbang penambahan jumlah utang di era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun (2004-2014) yang mencapai Rp 1.309 Triliun.
Meskipun Sri Mulyani menegaskan, utang ini ditarik untuk hal-hal yang
produktif, tapi fakta yang terjadi pada kinerja ekonomi makro Indonesia tak
produktif.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini membandingkan penambahan utang pada
periode 2012 – 2014 dengan periode 2015 – 2017. Pada 2012 – 2014, penambahan
utang mencapai Rp 798 Triliun, sementara pada periode 2015 – 2017 tambahan
utang mencapai Rp 1.329,9 Triliun.
Pada periode 2012 – 2014 total tambahan utang tersebut dialokasikan untuk
pembangunan infrastruktur sebesar Rp 456,1 Triliun, sektor pendidikan Rp 983,1
Triliun, sektor kesehatan Rp 146,4 Triliun, sektor perlindungan sosial Rp 35,3
Triliun, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan dana desa Rp 88,6 Triliun.
Sementara pada periode 2015 – 2017, tambahan utang di era Jokowi-JK
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sebesar 904,6 Triliun, sektor
pendidikan Rp 167,1 Triliun, sektor kesehatan Rp 249,8 Triliun, sektor
perlindungan sosial Rp 299,6 Triliun, dan DAK Fisik dan dana desa Rp 315,9
Triliun.
Jadi ini 8 kali lipatnya, tetapi kalau dilihat pengaruhnya pada angka
kemiskinan yang diklaim turun, rasio gini nya tidaklah terlalu jauh bergeser.
Angka rasio gini selalu naik turun pada interval angka 0,39-0,41 bukanlah
sesuatu capaian yang baik, apalagi maksimal dikemudikan (debt driven) oleh
utng dan lebih banyak dipengaruhi oleh variabel ekonomi lain.
Permasalahan sebenarnya adalah terletak pada kesalahan dalam menetapkan skala
prioritas pembangunan, tidak terarah dan terukur dengan baik.
Pemerintah justru tidak belajar dari kesalahan ini dan terus menerus melakukan
pembangunan infrastruktur, yangmana dalam masa lima tahun terakhir, anggaran
infrastruktur terus naik dengan total alokasi anggaran yang telah dibelanjakan
(2014-2019) berjumlah Rp1.893 Triliun.
Alokasi yang berlebih-lebihan (jor-joran) pada program pembangunan fisik ini
selain tidak mempercepat (akselerasi) pertumbuhan ekonomi secara sektoral,
regional, dan struktural namun juga mubazir.
Sementara, prioritas yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dengan lebih
mengutamakan pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) pada periode kedua
pemerintahannya belum tampak arahnya sama sekali, sementara utang luar negeri
tidak memberikan manfaat dan dampak produktif.
Selain itu, jika dibandingkan dengan kinerja ekonomi makro di era kepemimpinan
Presiden SBY selama sepuluh tahun, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai rata-rata
di kisaran 5-6 persen.
Misalnya, laju pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2008 yang dicapai sebesar 6,1
persen didukung oleh sumber utama pertumbuhan komponen ekspor 4,6 persen,
diikuti konsumsi rumahtangga 3,1 persen, pembentukan modal tetap bruto 2,6
persen, dan konsumsi pemerintah 0,8 persen.
Dengan jumlah ULN ditahun tersebut yang sebesar Rp1.636,7 Triliun atau setara
US$149,5 Miliar dibandingkan jumlah ULN di era Presiden Joko Widodo Tahun 2018
yang sejumlah Rp4.418 Triliun atau setara US$304, 69 Miliar dan jumlah ULN nya
lebih besar sejumlah Rp2.781,3 Triliun namun hanya menghasilkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 5,17 persen, artinya, pengelolaan alokasi ULN pada era
Presiden SBY lebih efektif.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada Tahun 2011, yaitu
sebesar 6,5 persen dan yang terendah dicapai pada Tahun 2009 dengan angka
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen, dan utang luar negeri yang lebih
kecil.
Alokasi anggaran infrastruktur pada Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp290
Triliun disebut sebagai alokasi terbesar sepanjang 10 tahun terakhir. Anggaran
infrastruktur terbesar lainnya di atas Rp200 Triliun teralokasi pada Tahun
2014 sejumlah Rp206,6 Trilyun.
Pada Tahun 2016 alokasinya menjadi Rp313 Triliun atau naik sejumlah Rp23
Triliun dibanding alokasi Tahun 2015. Sementara anggaran infrastruktur Tahun
2017 kembali meningkat menjadi Rp 387,3 Triliun atau naik sejumlah Rp 74,3
Triliun, meningkat 3 (tiga) kali lipat dari Tahun 2016.
Rencananya alokasi anggaran infrastruktur ini pada Tahun Anggaran 2018 pada
RAPBN akan dinaikkan lagi menjadi Rp 409 Triliun.
Kita menyayangkan alokasi anggaran yang tak masuk akal ini masih belum
memberikan daya ungkit (leverage) selama 6 (enam) tahun Presiden Joko Widodo
memerintah, tetapi setiap tahun terus saja ditambah lagi alokasi anggarannya
Penegakkan Ekonomi Konstitusi
Kita tentu perlu bertanya, kemana saja alokasi anggaran infrastruktur yang
sangat besar itu mengalir sementara pertumbuhan ekonomi dan PDB tak berubah
signifikan. Janji penegakkan konstitusi melalui jargon kemandirian ekonomi
sampai saat ini belum terbukti.
Justru pelanggaran Undang-Undang dan peraturan yang telah terjadi pada proses
perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo secara umum di hampir segala
bidang.
Mengacu pada rekam jejak sejarah utang dari era orde baru sampai saat ini,
meskipun berdasar nilainya utang naik, akan tetapi rasio utang pemerintah
Indonesia terhadap PDB memang masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan
dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar
60 persen terhadap PDB.
Walaupun begitu, untuk sasaran kemandirian ekonomi tidak mesti ruang aturan
yang membebani dalam jangka panjang terkait rasio utang ini dipenuhi, malah
seharusnya rasio semakin turun.
Pada era kepemimpinan Presiden SBY justru utang tidak dijadikan sumber utama dalam menunjang pembangunan infrastruktur secara berlebih-lebihan, namun perekonomian berjalan relatif stabil bahkan ditengah krisis subprime mortgage yang menghancurkan likuiditas perbankan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Krisis ini terjadi dari kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar
US$ 200 Miliar pada 2002 menjadi US$ 500 Miliar pada 2005.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), juga mencatat, bahwa perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa, yangmana puncaknya terjadi pada Tahun 1998, ketika krisis moneter menghantam Indonesia.
Saat itu, Presiden ke-2 Soeharto yang dilengserkan lewat aksi massa pada bulan Mei 1998 meninggalkan utang sejumlah Rp 551,4 Triliun atau setara dengan US$ 68,7 Miliar, dengan rasio utang mencapai 57,7 persen tehadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Semenjak terjadinya perubahan cara pemilihan Presiden yang awalnya melalui pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lalu menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat, maka estafet kepemimpinan Republik Indonesia selanjutnya diserahkan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY memimpin Indonesia selama dua periode, yaitu
periode I, Tahun 2004-2009, dan periode II Tahun 2009-2014. Pada masa pemerintahan SBY, rasio utang dan nilai utang Indonesia secara periodik adalah: Tahun 2005: Rp 1.311,7 Triliun atau US$ 133,4 Miliar, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 47,3 persen; Tahun 2006: Rp 1.302,2 Triliun atau US$ 144,4 Miliar dengan rasio utang terhadap PDB 39 persen;Tahun 2007: Rp 1.389,4 Triliun atau Rp 147,5 Miliar, dan rasio utang terhadap PDB sebesar 35,2 persen.
Tahun 2008: Rp 1.636,7 Triliun atau Rp 149,5 Miliar, rasio utang terhadap PDB 33 persen. Dimasa periode kedua pemerintahannya, Tahun 2009: jumlah utang luar negeri Rp 1.590,7 Triliun atau US$ 169,2 Miliar, dengan rasio utang terhadap PDB 28,3 persen. Tahun 2010: Rp 1.681,7 Triliun atau US$ 187 Miliar, dengan rasio utang 24,5 persen terhadap PDB.
Tahun 2011: Rp 1.809 Triliun atau US$ 199,5 Miliar, rasio utang 23,1 persen, Tahun 2012: Rp 1.977,7 Triliun atau US$ 204,5 Miliar, rasio utang 23 persen, Tahun 2013: Rp 2.375,5 Triliun atau US$ 194,9 Miliar, rasio utang 24,9 persen, dan Tahun 2014: jumlah utang Rp 2.608,8 Triliun atau US$ 209,7 Miliar, dan
rasio utang 24,7 persen terhadap PDB.
Prestasi luar biasa Presiden SBY yang tak bisa dipungkiri adalah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB Indonesia yang sebelumnya di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputeri sebesar 56,5 persen pada Tahun 2004 menjadi hanya 24,7 persen pada Tahun 2014 atau turun signifikan sebesar 31,8 persen.
Rasio utang yang lebih kecil ini ditunjang pula oleh pertumbuhan ULN relatif kecil, tapi tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, berkebalikan dengan yang terjadi pada masa Presiden Joko Widodo walaupun Menteri Keuangan ditempati orang yang sama.
Bandingkan dengan pengelolaan utang dimasa Presiden SBY yang memimpin Indonesia selama rentang 4 tahun juga, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada Tahun Anggaran 2018 sebesar 29,81 persen yang lebih rendah 3,49 persen persen, tapi justru pertumbuhan ekonomi lebih rendah sebesar 0,93 persen.
Sedangkan pada Tahun 2019 rasio utang mencapai 30,23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan yang dialami pemerintahan Pak SBY dengan selisih lebih besar sebesar 2,07 persen.
Sebenarnya dibidang ekonomi yang paling mendesak saat ini adalah masalah penegakkan secara konsisten pasal 33 UUD 1945 yang memerintahkan, ayat 1: Perekonomian disusun sebagai USAHA BERSAMA berdasar atas azas KEKELUARGAAN.
Ayat 2 nya menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang PENTING bagi NEGARA dan yang menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK dikuasai oleh Negara. Artinya, apakah realisasi janji Trisskti dan Nawacita itu telah diimplementasikan, seperti soal kemandirian ekonomi yang lebih penting dan
bagaimanakah posisi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti para petani, nelayan, pekerja, pengusaha kecil dan menengah serta Koperasi?
Maka dari itu, Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya tidak bisa mengabaikan prinsip ayat 1 dalam pengelolaan ekonomi nasional. Sedangkan ayat 3 nya menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, pembangunan fisik yang megah tampilannya ini tidak diikuti oleh kinerja ekonomi dan industri sebagai penopang perekonomian nasional yang akan memberi manfaat dan dampak pada penyelesaian indikator makro ekonomi di atas.
Secara sederhana dapat disampaikan bahwa pembangunan infrastruktur megah dan mentereng, tetapi ekonomi menjadi kerempeng. Secara mikro ekonomi Rumah Tangga adalah sebuah keluarga yang punya
infrastruktur rumah dan peralatan yang lengkap tetapi tak satupun anggota keluarga yang bekerja atau kalaupun bekerja tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara lengkap alias kurang gizi.
Tanpa tata kelola ekonomi yang adil antara entitas ekonomi BUMN, Koperasi dan Swasta dalam pekerjaan proyek-proyek infrastruktur, maka tak akan mungkin distribusi pendapatan akan terjadi pada masyarakat, meskipun pemerataan infrastruktur wilayah terjadi.
Dengan demikian jalannya pembangunan dan roda perekonomian bangsa dan negara selama 6 (enam) tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak taat pada dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah tidak ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melainkan
hanya untuk orang per orang atau sekelompok orang.
Artinya, penyerahan ekonomi nasional terutama cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada korporasi jelas sekali
melanggar pasal konsitusi tersebut.
Sebab, sangat tampak nyata dari berbagai data dam fakta yang tersebar secara luas, bahwa pembangunannya dan memberikan kesempatan mereka menjadi besar tak
memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat dan hanya untuk kesejahteraan
atau kemakmuran orang per orang.
Dengan demikian jalannya pembangunan dan roda perekonomian bangsa dan negara
selama 3 (tiga) tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak taat pada dasar
negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama
adalah tidak ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melainkan
hanya untuk orang per orang atau sekelompok orang.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo diminta lebih
memperkuat keberadaan BUMN dan memihak kepada koperasi karena itu menjadi
kunci bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bangsa.
Kini, mementum untuk melakuian perubahan kembali datang, melalui penurunan
harga minyak mentah dunia, dan wabah atau pandemik covid 19 yang mematikan.
Caranya, dengan melakukan perubahan mendasar, yaitu memperbaiki pengelolaan
ekonomi selama ini, baik itu ketimpangan ekonomi secara sektoral dan
struktural (rasio gini 0,39-0,41), kemiskinan dan pengangguran.
Dari capaian pembangunan infrastruktur yang sangat massif ini dan untuk
memperbaiki kondisi makro ekonomi Indonesia dan global, maka sebaiknya
pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih hati-hati dan cermat, sebagai
berikut:
- Melakukan efisiensi dan efektifitas program dan kegiatan di
kementerian/lembaga/komisi dan badan-badan negara, sebaiknya setiap
kementerian/lembaga/badan dan komisi negara tidak mengajukan program dan
kegiatan yang tumpang tindih sementara kelompok sasaran dan tujuannya sama. - Menggerakkan sektor fundamental ekonomi Indonesia, terutama sektor strategis
dan hajat hidup orang banyak yang selama ini.menjadi mata pencaharian
sebagian besar masyarakat Indonesia, maka kebijakan pemihakan pada kelompok
petani, nelayan dan pekerja harus menjadi perhatian utama - Memperbaiki dan mencabut segala peraturan dan per-Undang-Undangan yang
merugikan kepentingan nasional Indonesia, seperti UU Penanaman Modal Asing,
UU tentang BUMN, UU Koperasi, UU Ketenagakerjaan, UU Minyak dan Gas Bumi, UU
Mineral dan Batu Bara, UU Ketenagalistrikan dan UU sektoral lainnya, serta
memberikan kemudahan iklim usaha pada para pengusaha, petani, nelayan dan
para pekerja yang.merupakan putera bangsa sendiri. - Indonesia tentu saja tidak anti asing sejauh kerjasama ekonomi, perdagangan
dan industri tersebut memberikan manfaat kedua belah pihak yang bekerjasama
dan terutama pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia - Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini dapat diatasi apabila
pemerintah bersungguh-sungguh membenahi manajemen BUMN dan memperkuat
Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang keuntungannya akan
memberikan manfaat kepada kapasitas kas negara dan manfaat untuk rakyat
banyak.
Wewujudkan Tri Sakti dan Nawacita, terutama dalam soal kemandirian ekonomi
harus dirumuskan melalui perencanaan dan kebijakan strategis serta tahapan
yang jelas dan terarah, maka itu prioritas pembangunan wilayah dan masyarakat
menjadi penting walaupun infrastruktur menjadi tantangan utama.
Namun terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur (apalagi dengan mekanisme
utang luar negeri) tanpa memperhatikan sektor yang lain tentu saja akan
membebani negara dan masyarakat di masa depan, sebab yang produktif itu bukan
bangunan fisik melainkan manusianya.
Perkembangan pandemik covid 19 yang telah menjalar dengan cepat ke seluruh
wilayah Indonesia dan menimbulkan korban meninggal dunia semakin meningkat
seharusnya menjadi momentum pemerintahan untuk melakukan perubahan sistemik
atas ekonomi Indonesia dan melakukan berbagai perubahan atas strategi, arah
serta skala prioritas pembangunan. (*)
* Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, alumnus Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta