Kabarnusa.com – Satu lagi potret kemiskinan terkuak di Jembrana, Bali. Kehidupan Samsuri (60) dan istrinya Suhaena (50), warga Banjar Ketapang Muara, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, sungguh memilukan.
Samsuri sejak tahun 2002 harus berjuang hidup dengan kegelapan. Dia buta dan hanya mengandalkan batinnya dalam beraktivitas.
Kakek ini memiliki tiga orang anak, satu diantaranya telah meninggal. Dia tinggal di gubuk reot dan nyaris roboh. Namun dia tetap tegar walau kehidupannya sangat memprihatinkan.
Kepada wartawan, Samsuri menuturkan, sejak tahun 1955 dia tinggal di Pengambengan. Sejak itu dia tinggal di gubuk reot milik Lehani, kakaknya yang sudah lama meninggal.
Awalnya, kehidupan keluarganya berjalan dengan normal, karena dia selalu bekerja tiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun tahun 2002, petaka datang. Saat itu, dia sedang mencari ikan di laut, tiba-tiba dia merasa matanya sakit dan pandangannya gelap. Kondisi tersebut dia biarkan dan tidak diobatinya karena tidak memiliki uang.
Lama kelamaan pandangan matanya semakin gelap. Kemudian dia berusaha mengobatinya bahkan sampai dioperasi. Sayangnya justru setelah dioprasi dia menjadi buta total.
Sejak dia buta itulah, kondisi perekonomiannya menjadi pincang. Untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarganya sering kekurangan.
Bahkan sering keluarga ini berpuasa lantaran tidak memiliki uang untuk beli beras. Maklum dengan kondisi buta dia tidak bisa maksimal bekerja.
Kini Samsuri yang sudah dikaruniai satu orang cucu praktis tidak mampu lagi bekerja. Yang menjadi tulang punggung keluarga hanyalah istrinya.
Istrinya bekerja sebagai buruh gunting ikan di pabrik ikan Pengambengan. Pendapatannya juga tidak menentu. Kadang hanya dapat Rp 20 ribu sehari, kadang bisa sampai Rp 40 ribu perhari.
![]() |
Samsuri dalam kesehariannya hanya duduk diam di rumah. Terkadang jika ingin keluar dan buang air dia terpaksa berjalan dengan memegang tali yang sudah dibentangkan istrinya. |
“Dengan penghasilan segitu tidak mungkin kami menabung. Untuk makan saja kadang ngak cukup. Apalagi beras sekarang mahal,” keluh Suhaena akhir pekan lalu..
Bahkan karena penhasilannya sangat minim dan tidak menentu, pasutri ini tidak mampu menyekolahkan anak keduanya.
Beruntung keponakan Samsuri berbaik hati bersedia mengadopsi anak keduannya hingga bisa mengenyam pendidikan.
Samsuri dalam kesehariannya hanya duduk diam di rumah. Terkadang jika ingin keluar dan buang air dia terpaksa berjalan dengan memegang tali yang sudah dibentangkan istrinya.
Pasutri ini juga tidak memiliki jamban. Maka tak hayal, Samsuri kerap buang air besar di halaman belakang rumahnya. Tentu saja kotorannya dikubur.
“Kami bersyukur jika ada yang membantu kami membuatkan jamban sehingga kami tidak buang air besar sembarangan,” ujarnya lirih.
Mereka juga pernah dijanjikan bedah rumah dari pemerintah, bahkan sudah sering di survei dan di foto namun hingga kini bantuan bedah rumah itu tidak kunjung dia dapatkan.
“Bahkan KTP asli dan KK asli kami juga dibawa oleh aparat desa, sampai sekarang belum dikembalikan. Kami tidak tahu untuk apa,” katanya.
Kini pasutri ini hanya bisa pasrah dengan kehidupan yang dia jalani. Jika ada dermawan yang mau membantu memperbaiki rumahnya yang sudah disangga dengan kayu dan bambu agar tidak roboh, pasutri ini sangat berterima kasih dan tidak akan melupakan bantuan itu seumur hidupnya. Bahkan hingga anak cucunya besar nanti.(dar)