Yogyakarta– Tragedi banjir bandang mematikan yang melanda sebagian besar Sumatra, khususnya Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir November 2025, bukan sekadar bencana alam biasa.
Bencana yang menewaskan lebih dari 300 korban jiwa dan melumpuhkan ratusan desa ini disebut sebagai akumulasi “dosa ekologis” yang telah lama diabaikan.
Data menunjukkan curah hujan ekstrem mencapai 300\text{ mm} per hari di beberapa wilayah Sumut menjadi pemicu. Namun, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, menegaskan tingkat kerusakan yang terjadi merupakan cerminan parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu.
Hatma menjelaskan, fungsi utama hutan di hulu DAS adalah sebagai “spons raksasa” alami. Hutan tropis yang sehat memiliki kemampuan luar biasa:
Mampu menahan 15–35 persen air hujan di tajuk.
Menyerap hingga 55 persen air melalui proses infiltrasi ke dalam tanah.
Mengembalikan 25–40 persen ke atmosfer melalui evapotranspirasi.
“Ketika hutan hulu rusak atau gundul, fungsi intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi hilang total. Air hujan yang deras langsung mengalir ke hilir, memicu longsor dan memperparah banjir bandang.
Ditambah sedimentasi yang tinggi mempersempit sungai, risiko luapan menjadi tak terhindarkan,” terang Hatma, Senin (1/12/2025).
Deforestasi Kritis di Sumatra yang Mengkhawatirkan
Hatma menyoroti data deforestasi di Sumatra yang berada dalam kondisi kritis dan langsung berkorelasi dengan bencana ini:
Aceh: Kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan antara tahun 1990 hingga 2020.
Sumatra Utara: Tutupan hutan hanya tersisa sekitar 29 persen dan terfragmentasi parah, termasuk di kawasan Batang Toru yang tertekan aktivitas ilegal seperti pembalakan dan pertambangan.
Sumatra Barat: Meskipun memiliki tutupan hutan sekitar 54 persen, laju deforestasi tetap tinggi.
“Perlindungan hutan dan konservasi DAS harus menjadi prioritas utama. Langkah mitigasi struktural seperti pembangunan tanggul memang penting, tetapi itu tidak akan cukup tanpa pemulihan dan pelestarian lingkungan di hulu,” tegas Hatma.
Ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas: menghentikan deforestasi di kawasan rawan banjir, dan menjadikan sisa hutan kritis seperti Ekosistem Leuser (Aceh) dan Hutan Batang Toru (Sumut) sebagai “harga mati” yang harus dipertahankan.
Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis adalah hal mendesak untuk memulihkan kembali fungsi hutan sebagai pengendali daur air.
“Hanya dengan ini, kita bisa mencegah ‘dosa ekologis’ ini terulang kembali,” pungkasnya.***

