Yogyakarta- Sastra, sebagai medium ekspresi artistik, memiliki potensi inheren untuk merefleksikan dan mengkritisi berbagai realitas sosial, termasuk isu sensitif terkait Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Namun, lanskap sastra Indonesia kontemporer menunjukkan adanya tendensi untuk menghindari penggalian mendalam terhadap persoalan agama, dinamika suku dan ras, serta kompleksitas politik kepentingan antar kelompok.
Fenomena ini diduga berakar pada semacam respons latah dan ketakutan yang terinternalisasi sejak lama, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Aprinus Salam, Dosen Departemen Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Sosiologi Sastra pada Selasa (29/4) di Balai Senat UGM.
Melansir laman ugm.ac.id, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Sastra, SARA, dan Politik Salah Paham,” Prof. Aprinus menyoroti bagaimana karya sastra berpotensi mengandung isu SARA, merujuk pada contoh novel Salah Asuhan yang dalam draf awalnya disinyalir menyinggung sentimen terhadap ras Barat (Belanda).
Lebih lanjut, ia menyinggung pelarangan karya sastra di era Orde Baru, seperti yang dialami oleh tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, negara menunjukkan ketakutan terhadap kemampuan sastra dalam membongkar dan mengekspos implikasi ideologis yang dipraktikkan secara keliru oleh pihak penguasa.
Novel Bumi Manusia, sebagai contoh, berhasil memotret isu rasisme kolonial, feodalisme, ketidaksetaraan gender, dan kapitalisme, sekaligus mendorong pembaca untuk mengadopsi perspektif rasional yang lebih humanis dalam mewujudkan dunia yang setara. Perspektif kritis ini, menurut Prof. Aprinus, dianggap mengancam oleh kekuasaan dominan karena berpotensi melemahkan hegemoni mereka.
Permasalahan mendasar terletak pada kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konstruksi kesalahpahaman yang disengaja terkait peran sastra, yang jejaknya masih terasa hingga kini. Dalam konteks ini, sastra menjalankan fungsi pencarian dan klarifikasi kebenaran, serta secara aktif mengajak pembaca untuk membuka diri terhadap keyakinan yang berbeda.
Pengalaman Orde Baru dan kasus Bumi Manusia, yang menurut Prof. Aprinus sengaja diabaikan, disalahpahami, dan diputarbalikkan maknanya, menjadi preseden berbahaya bagi kekuasaan. Konsekuensinya, karya sastra yang dianggap menyentuh isu SARA dipandang sebagai ancaman terhadap negara, yang berujung pada pelarangannya.
Lebih lanjut, Prof. Aprinus berpendapat bahwa upaya negara dalam melarang unsur SARA dalam karya sastra tidak lagi semata-mata demi keamanan bangsa dan negara, melainkan lebih untuk melindungi keamanan dan kepentingan politik kekuasaan tertentu.
Ia menegaskan bahwa negara yang ideal tidak akan membiarkan masyarakat terperangkap dalam kesalahpahaman, namun kekuasaan cenderung melanggengkan diri melalui cara tersebut.
Prof. Aprinus juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam era demokratisasi yang diramaikan oleh media sosial. Dalam konteks ini, meskipun terkesan terjadi pelonggaran atau upaya demokratisasi, pemerintah justru menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme kerja sastra sebagai ruang pencarian kebenaran yang esensial bagi kecerdasan sastrawan dan masyarakat.
Ke depan, Prof. Aprinus berharap agar tidak ada lagi persyaratan “tidak boleh menyinggung SARA” dalam kompetisi sastra, mengingat peran inheren sastra dalam mendorong pencarian dan penjagaan kebenaran secara kolektif.
Menutup acara pengukuhan, Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Baiquni, secara resmi mengukuhkan Prof. Aprinus Salam sebagai guru besar, menjadikannya salah satu dari 17 Guru Besar aktif di Fakultas Ilmu Budaya UGM. ***