![]() |
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori (foto:istimewa) |
JAKARTA – Kasus dugaan suap dan korupsi di PT. PAL menunjukkan tidak berperan dan berfungsinya Dewan Komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN dalam mengawasi dan memantau kinerja para direksi BUMN tersebut.
Hal itu ditegaskan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menanggapi dugaan korupsi di tubuh PT PAL yang cukup mengejutkan publik.
Diketahui, masyarakat dikejutkan Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) atas sejumlah oknum pejabat PT. PAL (Persero) yang juga melibatkan beberapa orang Direksi sebagai tersangka, diantaranya Direktur Utama, Direktur Keuangan dan General Manager Treasury.
Sebagaimana diketahui, PT. PAL adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri galangan kapal.
Menurut Defiyan, kasus tersebut, menunjukkan rentan dan berpeluang hilangnya uang negara dalam jumlah besar, yang bisa saja menjadi bagian dampak baik dan buruknya kinerja BUMN. Juga, menunjukkan bobroknya keuangan negara apabila BUMN hancur karena sikap dan perilaku koruptif ini.
“Saya melihat, lebih dari itu menunjukkan, tidak berperan dan berfungsinya Dewan Komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN,” tegas alumni Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta itu dalam percakapan dengan Kabarnusa.com, Minggu (9/4/17).
Kata dia, peran Dewan Komisaris menjadi lemah dalam mengawasi dan memantau kinerja Direksi BUMN tersebut. Bahkan mungkin sekali tidak berperannya Dewan Komisaris bisa diduga saat penyusunan perencanaan strategis perusahaan BUMN.
Sebagai contoh PT. PLN (Persero) yang berkali-kali melakukan perubahan Rencana USaha Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) dan baru merampungkan akhir Maret 2017, dengan tetap menyisakan pertanyaan alasan perubahan RUPTL itu.
Melalui kasus korupsi ini, lanjut dia, bisa saja ditelisik alasan komisaris sampai tidak mengetahui apa yang terjadi dari day to day (hari ke hari) kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam pengawasannya.
“Apalagi, BUMN yang merupakan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak selama ini, tidak memiliki pesaing dalam industri dimaksud punya potensi yang sangat luas, untuk disalahgunakan atau diselewengkan untuk kepentingan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya,” tegas mantan Tenaga Ahli Bappenas dan Kemendagri itu.
Defiyan menegskan, bahwa harta (asset) BUMN adalah harta negara yang berarti juga harta warga negara atau rakyat Indonesia tidak semestinya uang 163 ribu US dollar dan 25 ribu US dollar (penyerahan kedua) atau 188 ribu US dollar setara dengan hampir Rp 3 Milyar itu hanya diambil untuk kepentingan diri sendiri Dewan Direksi BUMN.
“Yang lebih buruk adalah jika Dewan Komisaris dan Kementerian tidak mengetahui tindakan yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat BUMN yang harus mereka awasi,” tukas peserta Summer Cpurse Economic adn Constitutional Law Bayreuth Universitat Germany itu..
Kasus ini, juga merupakan pintu masuk bagi KPK untuk lebih mengawasi BUMN-BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak dan beroperasi di pasar monopolistik dengan peluang yang sama terjadi pada kasus PT. PAL.
Potensi korupsi di BUMN inilah yang selama ini luput menjadi perhatian para penegak hukum di KPK, apalagi peluang untuk melakukannya berpeluang lebih besar dibanding dengan lembaga lainnya, terutama pada BUMN yang bersifat monopolistik.
Dibandingkan korupsi penyelenggara negara yang hanya bisa dilakukan pada dana APBN melalui pengadaan proyek-proyek pemerintah, maka modus korupsi di BUMN lebih beragam. Modusnya, dimulai proses seleksi dan perekrutan (recruitment) pejabat, pengadaan barang dan jasa, manipulasi keuangan sampai pada pemolesan laporan keuangan serta pembagian laba perusahaan.
Kasus suap oknum pejabat BUMN PT. PAL dengan bagian fee (success fee) yang diterima dalam bentuk mata uang asing (dollar) juga menunjukkan, indikasi bahwa modus pemberian suap bisa saja tidak dilakukan di dalam negeri, apalagi dibuktikan pula dengan keberadaan Direktur Keuangan PT. PAL yang sedang berada di negara lain.
Ia menambahkan, jika Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN tidak mampu menunjukkan kinerja pengawasannya, lalu apa mungkin kita berpikir untuk mengusulkan sebuah lembaga baru yang independen semacam Komisi Yudisial yang bisa saja disebut sebagai Komisi Pengawasan BUMN.
Nantinya, komisi itu berfungsi untuk memantau kinerja Dewan Manajamen (Direksi dan Komisaris) dan Kementerian BUMN? Sebelum keuangan negara semakin banyak yang menguap oleh tindakan korupsi sebaiknya langkah-langkah antisipasi harus mulai dilakukan Presiden dan DPR terutama dalam menyelamatkan keuangan negara di BUMN.
“Penyelamatan uang negara agar tidak terus menerus dijadikan alasan untuk memperoleh Penyertaan Modal Negara (PMN) akibat kinerja yang buruk,” demikian Defiyan. (rhm)