Bali sebagai destinasi wisata dunia selalu menarik minat wisatawan untuk datang berlibur menikmati keindahan alam dan kekayaan adat dan budaya masyarakatnya. Keindahan alam baik pantai, sungai dan pegunungan menjadi pesona tersendiri yang membuat wisatawan betah berlama-lama mengisi liburan. Kekayaan keindahan alam dan potensi wisata lainnya yang dimiliki Bali, tentu harus senantiasa dijaga dengan baik. Salah satunya, menjaga agar lingkungan bisa bebas dari paparan sampah. Edukasi menjadi kata kunci dalam menciptakan lingkungan masyarakat atau tempat wisata yang nyaman, bersih dari sampah.
Banyak pihak semakin menyadari pentingnya menciptakan lingkungan yang bersih terutama bebas dari paparan sampah organik maupun an-organik, mengingat Bali merupakan daerah tujuan wisata internasional. Terlebih, saat ini, perhatian dunia tengah tertuju Bali sebagai tempat berlangsungnya KTT-G20 bulan November mendatang
Pemerintah Provinsi Bali sebagaimana kebijakan Gubernur Bali I Wayan Koster, telah tegas melarang warga membuang sampah di danau, mata air sungai dan laut sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020. Gubernur Koster mengingatkan seluruh stakeholder di Pulau Bali untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber dari hulu ke hilir.
Menyadari pentingnya penanganan sampah sejak dari hulu hingga hilir, menjadi salah satu yang menggerakkan kelompok atau para komunitas berbasis masyarakat seperti dilakukan Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce, Reuse, Recycle (TPST3R) Desa Adat Seminyak, Kuta, Badung dan Komunitas ‘Malu Dong’ di Denpasar.
Meskipun berada di kawasan yang menjadi sentral pariwisata Bali yakni di Semiyak, namun TPST3R, mampu meyakinkan masyarakat, swasta atau pelaku industri pariwisata dan pemerintah, bahwa sampah sejatinya jika dikelola dengan benar akan membawa berkah.
TPST3R Desa Adat Seminyak ini, awalnya dipandang sebelah mata. Beruntung, pihak desa adat terus mensupport selama dua tahun untuk pengadaan peralatan hingga akhirnya bisa benar-benar mandiri.
Seiring waktu, kepercayaan masyarakat semakin meningkat, bahkan keberadaan TPST3R menjadi salah satu gantungan sumber pendapatan. Puluhan warga setiap hari mengais sampah, memilah sempah basah organic dan sampah kering ataun anorganik seperti plastok dan bekas kaleng minuman.
Perlahan , sampah yang sebelumnya menjadi ancaman pariwisata Bali, bisa menjadi berkah masyarakat sekitar TPST3R, bahkan juga masyarakat di luar desa adat setempat.
Sejak didirikan sekira bulan Desember 2003, TPST3R awalnya lahir karena Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Badung sudah tidak mampu lagi melayani sampah rumahan.
“Desa Adat Seminyak tergerak membantu mengatasi, sebab, Seminyak ini juga tergantung dengan kunjungan wisatawan,” tutur Ketua TPST3R Desa Adat Seminyak, I Komang Ruditha Hartawan kepada wartawan dalam even “Coke Tour.2.0-Kompetisi Jurnalistik di lokasi Rabu, 31 Agustus 2022.
Untuk mengetuk kesadaran masyarakat agar disiplin, tertib tidak membuang sampah sembarangan bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan pendekatan yang terus menerus secara persuasif dan humanis sebagaimana dilakukan Komang Ruditha yang akrab disapa Koming ini.
Misalnya ketika memberikan imbauan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan dengan kata-kata yang lebih menyentuh kesadaran, bukan dengan ancaman denda dan sebagainya.
“Terima kasih tidak membuang sampah di sini,” ucap Komang Sudiarta memberikan contoh.
Pada saat sama, pihaknya melakukan pengelolaan sistem terpadu, mengedepankan pola reduce, reuse, recycle atau 3R, permasalahan sampah yang bersumber dari rumahan, warung, artshop, villa, hotel, restoran dan kegiatan usaha masyarakat lainnya, bisa teratasi dengan baik di wilayah Seminyak.
“Sampah-sampah yang diangkut ke TPST3R ini, dipilah dan dipilih, sehingga menyisakan hanya residu yang diangkut untuk dibuang ke TPA, setidaknya bisa mengurangi beban sampah di TPA Suwung,” sambungnya.
Pihaknya bersyukur karena niat baik dalam menuntaskan permasalahan sampah di ‘kampung turis’ ini bak gayung bersambut. Pada tahun 2015, pihaknya melakukan kerjasama dengan Coca Cola Amatil Indonesia untuk program lingkungan dengan membangun Learning Centre di TPST3R Desa Adat Seminyak.
“Kami sasar, edukasi sejak dini, mulai siswa SD hingga SMA/SMK,” ucap Koming.
Sengaja yang disasar anak sejak usia dengan mengajarakan pentingnya mengelola sampah dengan baik, mengingat hal itu jauh lebih mudah dan membekas di ingatkan mereka ketimbang edukasi pada usia dewasa.
Selain itu, pihaknya membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Pengelola TPST guna memotivasi anak-anak agar lebih peduli terhadap lingkungan bersih dan sehat, bebas dari sampah.
Eduasi lainnya juga dilakukan melalui kemasan ‘Beach Clean Up’ sejak 2004. Tujuan gerakan ini menjaga Pantai Seminyak agar tetap bersih dan indah, nyaman bagi wisatawan..
Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Jadi Komitmen Coca Cola
Dalam acara “Coke Tour.2.0-Kompetisi Jurnalistik , media cetak dan online di Bali, sengaja diajak oleh Coca Cola untuk melihat dari dekat bagaimana pengelolaan sampah berbasis sumber di TPST3R Desa Adat Seminyak.
Selain itu, media diajak melihat dari dekat bagaimana kiprah salah satu komunitas peduli Malu Dong’ di Denpasar yang konsisten dalam melakukan edukasi pentingnya penanganan sampah dari hulu ke hilir.
“Harapannya, teman-teman media setelah melihat langsung di lapangan, bisa menuangkan dalam karya jurnalistik yang bisa disebarluaskan sehingga bermanfaat kepada publik,,” ungkap Corporate Affairs Executive Coca-Cola Europasific Partners Denpasar, Made Pranata Wibawa Ade Putera.
Apalagi, saat ini, di Bali, menjadi tuan rumah Presidesi G20, diataranya, poin penting yang harus segera diselesaikan mencakup penanganan dan pengelolaan sampah.
Dijelaskan Made Pranata Wibawa Ade Putera, masalah sampah sebenarnya telah dilakukan dengan baik oleh Gubernur Bali Wayan Koster yang telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Dalam regulasi itu, seluruh desa di Bali diharapkan melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat melalui pendekatan reduce, reuse, recycle (3R) yang implementasinya diproses Tempat Pengelolaan Sampah berbasis 3R (TPS3R).
Kebutuhan untuk mengurangi pemrosesan sampah di TPA akan berhasil
Jika masyarakat teredukasi, secata maksimal dalam menerapkan pemilahan sampah mulai dari rumah tangga dengan metode pengurangan penggunaan barang sekali pakai (reduce), pemanfaatan kembali barang yang masih bernilai (reuse), dan pengolahan sampah menjadi produk baru yang bermanfaat (recycle), maka masalah sampah di TPA bisa teratasi.
Hanya saja, diakuinya, efektivitas sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat terkendala penerapannya terutama perihal aktivitas pemilahan sampah berbasis sumber.
Untuk itu, pihaknya juga berkomitmen melakukan edukasi dan sosialisasi dalam tata kelola penanganan sampah ke semua lapisan mayarakat. Bagaimana pubkik teredukasi dalam perilaku tidak membuang sampah sembarangan.
“Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia sebagai salah satu warga usaha yang beroperasi di Provinsi Bali menyadari bahwa sinergi, kolaborasi dan kontribusi merupakan aspek penunjang keberlanjutan usaha (sustainability),” kata Made Pranata Wibawa Ade Putera dalam keterangannya.
Ditegaskan, strategi sustainability CCEP Indonesia di masyarakat (community) antara lain menginvestasikan waktu, keahlian dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidup dan menumbuhkan itikad baik bersama komunitas melalui inisiatif lokal yang relevan dan selaras dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
“Salah satu upaya dapat dilakukan, dengan membangun harmonisasi hubungan dan kerjasama positif bersama komunitas antara lain melalui wadah edukasi dan studi lapangan di komunitas, yang telah melakukan proses pengelolaan dan penanganan sebagai ‘Komitmen Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat,” imbuhnya.
Komunitas Malu Dong Membangun Mental Peduli Lingkungan Sejak Dini
Sementara itu, aktivis peduli sampah yang pendiri komunitas ‘Malu Dong’ Komang Sudiarta, mengatakan, setelah melakukan pengkajian, diskusi panjang dan mengamati langsung kondisi lapangan, masalah penanganan sampah di Bali, kuncinya pada edukasi masyarakat.
“Yang belum terbangun adalah pada mental masyarakat, kepedulian terhadap sampah” tandasnya saat bincang dengan media.
Jika ini tidak ditumbuh, maka step atau tahapan selanjutnya dalam penanganan sampah juga tidak akan bisa berjalan mulus.
Karena itu, pihaknya terus melakukan edukasi untuk membenahi mental masyarakat ini, bersama anak muda. Semua dilakukan karena ingin membangun gerenasi muda baru dengan perilaku mental yang tinggi, kepedulian terhadap lingkungan.
“Seharusnya, mental-mental ini dibangun diedukasi, sejak dini, dari sekolah-sekolah,” sambungnya.
Komunitas Malu Dong, tidak fokus pada pengolahan sampah melainkan lebih pada bagaimana membangun mental, melakukan edukasi anak-anak muda, masyarakat, agar lebih peduli lingkungan sehingga bisa merubah perilaku mereka seperti tidak membuang sampah sembarangan.
“Edukasi kita support, membuat TPS juga disupport, tetapi juga mental manusianya yang kita tumbuhkan, sehingga gampang untuk mengedukasi,” imbuhnya sembari mengatakan dengan sejumlah universitas telah turun ke ratusan desa di Bali.
Menurut Komang Sudiarta, edukasi terus dilakukan di desa-desa di Bali, agar masyarakat bisa mengelola, mengolah sampahnya sendiri sehingga masalah sampah bisa diselesaikan di sumbernya. ***