Ekonom: Jorjoran Danai Infrastruktur Tak Lahirkan Faktor Daya Ungkit bagi Sasaran Pengentasan Kemiskinan

7 September 2021, 14:58 WIB
Presiden Joko Widodo saat meresmikan ruas jalan tol Sragen-Ngawi/foto:biro pers setpres

Jakarta – Pembangunan infrastruktur secara jor-joran atau membabi
buta dengan alokasi anggaran yang bertambah besar justru menghasilkan
nihilnya faktor daya ungkit (leverage factor) bagi sasaran pengentasan
kemiskinan dan janji program pro rakyat.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyampaikan itu menanggapi pujian para tokoh politik nasional yang memberikan pujian atas keberhasilan pembangunan infrastukrtur era Presiden Joko Widodo.

Menurutnya, perencanaan anggaran seperti ini, secara mikro ekonomi atau
dalam lingkup organisasi terkecil dapat diibaratkan seorang Kepala Rumah
Tangga  yang membangun rumah mewah dan megah melalui dana utang yang
besar.

“Namun anggota keluarganya tidak memiliki pekerjaan atau
pengangguran dan pendapatan hanya bisa bertahan untuk hidup,” selorohnya dalam keterangan tertulis dikirim ke Kabarnusa.com, Selasa (7/9/2021). 

Oleh
karena itu, mendesak bagi Presiden Joko Widodo untuk melakukan revisi
terhadap skala prioritas pembangunan yang mampu memberikan pertumbuhan
ekonomi memadai sebagai daya ungkit dalam mencapai sasaran pengentasan
masyarakat miskin. 

Dibanding terus melanjutkan pembangunan
infrastruktur yang berpotensi hanya menjadi monumen yang ditinggalkan
pasca masa jabatan berakhir, terutama atas bukti tidak berubahnya atau
semakin meningkatnya jumlah kemiskinan di wilayah Pulau Jawa.

Kata Defiyan, tidak masuk akalnya
lagi, justru pembangunan infrastruktur tetap menjadi salah satu
prioritas utama pemerintah pada Tahun 2022 dan mengalokasikan anggaran
infrastruktur sebesar Rp 384,8 Triliun dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Anggaran tersebut akan
digunakan untuk pembangunan infrastruktur di sejumlah sektor,
diantaranya infrastruktur energi dan pangan, infrastruktur untuk
konektivitas dan mobilitas, serta untuk akses TIK (teknologi informasi
dan komunikasi). 

“Anggaran infrastruktur ini masih terbesar dibanding
alokasi sektor lain,  dan hanya turun sejumlah Rp32,6 Triliun dari
alokasi pada Tahun 2021 yang sebesar Rp 417,4 Triliun,” tambahnya.

Defiyan mengungkapkan, capaian kinerja pertumbuhan ekonomi pada saat awal Presiden Joko
Widodo yang berpasangan dengan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (periode
2014-2019) selama masa 5 (lima) tahun yang tertinggi berhasil dicapai
mengacu pada data BPS, pada Tahun 2018 justru hanya sebesar 5,17
persen. 

Tercatat pada bulan September 2018 angka kemiskinan
mencapai sejumlah 25,67 juta dan garis kemiskinan secara rata-rata
adalah sebesar Rp 1.901.402,-/rumah tangga miskin/bulan.

Sementara
itu, data per-bulan Maret Tahun 2019 jumlah penduduk miskin mencapai
25,14 juta jiwa, memang terjadi penurunan dibanding masing-masing data
pada bulan September 2018, yaitu 0,53 juta jiwa dan 0,80 juta jiwa
dibulan Maret 2018. 

“Sedangkan persentase penduduk miskin juga
menurun sebesar 0,25 persen dari 9,66 persen pada bulan September 2018
menjadi 9,41 persen pada bulan Maret 2019,” imbuhnya..

Sebelumya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 25 Agustus 2021 mengadakan pertemuan dengan sejumlah para Ketua Umum Partai Politik pendukung pemerintah, dan dalam pertemuan itu hadir pula Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Sekretaris Jenderal-nya (Sekjen) Eddy Soeparno. 

Sekjen PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto dalam siaran persnya menyampaikan, selain Ketum Parpol hadir pula Sekjen Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, juga dihadiri PAN. 

“Lalu, apa makna pertemuan koalisi politik besar tersebut beserta manfaat dan dampaknya bagi masyarakat selain pujian dan sanjungan dari para Ketum Parpol atas kepemimpinan nasional yang hanya fatamorgana itu?,” demikian Defiyan. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini