Ekonom: Meributkan Pengangkatan Ahok sebagai Komut Pertamina Buang Waktu dan Energi

23 November 2019, 09:33 WIB

pertamina

Padang – Terus meributkan seputar kontroversi pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris
Utama BUMN Pertamina hanya membuang waktu dan energi karena sejatinya UU BUMN telah bermasalah dan terus dilanggar pemerintah.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, mempertanyakan manfaat dan apa dampak bagi kepentingan bangsa dan negara atas kontroversi pengangkatan Ahok sebagai Komisaris Utama BUMN Pertamina.

“Tak lain, membuang waktu (wasting time) dan buang energi (useless energy) disebabkan hulunya, yaitu UU BUMN itu sendiri telah bermasalah dan terus dilanggar oleh pemerintah di satu sisi,” tegas Defiyan dalam keterangan tertulis kepada Kabarnusa.com, Sabtu (23/11/2019).

Sementara di sisi yang lain, manfaat dan dampak atas kontroversi pengangkatan Ahok ini belum bisa diberikan penilaian karena Ahok belum bekerja serta masih berdasar asumsi dan persepsi meributkan soal kinerjanya di masa depan.

Defiyan menyatakan, sejak awal sudah tak terlalu menarik (bahkan serius) lagi membahas soal pengangkatan dan pemberhentian sosok pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan entitas ekonomi dan bisnis mandat dari konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Kenapa demikian, adalah disebabkan oleh adanya permasalahan mendasar pada materi pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang tidak terstruktur dan cenderung berantakan isi batang tubuhnya serta memberi peluang interpretasi sesuka hati.

Bahkan melakukan pelanggaran atau pengabaian atas maksud materinya itu sendiri (atau istilah anak muda semau gue) bagi pemegang kewenangan atau kekuasaan.

Maka dari itu pengangkatan sosok siapapun menjadi Direksi dan Komisaris akan menjadi ajang keributan, baik itu tersembunyi maupun terbuka seperti kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini.

“Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris ketentuannya terdapat pada Pasal 14-33 UU tersebut, bahwa materinya memerintahkan proses seleksi dan mekanismenya beserta syarat dan kriteria sosok yang akan menempati jabatan di BUMN,” katanya.

Selain calon pejabat pada kedua posisi itu dilarang memangku jabatan rangkap, apapun itu (Direksi BUMN ada pada Pasal 25 dan Komisaris terdapat di Pasal 33), termasuk soal integritas pribadi dan tak pernah terkena kasus hukum, sampai disini maka perintah UU sangat jelas dan tegas soal sosok.

Oleh karena itu pengangkatan Ahok lebih tepat dicermati dari perspektif yang lain terhadap proses seleksi dan mekanisme pelaksanaan pemilihan pejabat BUMN yang telah berlangsung selama UU BUMN berlaku dalam 16 tahun, dan bisa menjadi komparasi (perbandingan) bagi publik dalam memahaminya dibandingkan dengan mempersoalkan kemauan (willingness) pemegang kekuasaan menaatinya.

Perspektif itu adalah terkait dengan proses manajemen (management process) dalam ilmu manajemen perusahaan yang sangat dikenal, yaitu IOP (Input-Output Process) (masukan), dalam hal ini meliputi masukan (input) proses, keluaran (output) serta manfaat dan dampaknya.

Dia melanjutkan. masukan (input) menempatkan Ahok sebagai pejabat BUMN telah melanggar ketentuan UU yang berlaku, terkait status kelayakan dan apalagi ketepatannya berdasar seleksi dan mekanisme yang ada (termasuk Permen BUMN soal kualifikasi calon Direksi dan Komisaris) khususnya berkaitan dengan integritas dan tak pernah berkasus hukum.

“Pencari kerja untuk posisi staf saja di berbagai perusahaan dan instanai pemerintahan membutuhkan Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKCK saat ini) secara formal, apalagi seorang pejabat publik atau perusahaan negara,” tukas alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Karenanya, wajar saja pengangkatan Ahok tersebut menuai kontroversi dan memancing keributan disebabkan masukannya (input) sudah bukan lagi bahan baku yang baik atau cacat dalam istilah manajemen produksi atau operasi.

Namun, ada hal baik yang terjadi atas seleksi pejabat yang berlangsung saat ini dibandingksn dengan sebelum ini, yaitu Menteri BUMN Erick Tohir lebih terbuka menyampaikan sosoknya kepada publik, tidak tertutup atau sembunyi-sembunyi sebagaimana yang terjadi sebelum keributan soal Ahok ini, artinya publik terlibat menilainya.

Lantas, bagaimana soal hasilnya, maka dalam perspektif manajemen produksi dan sumber daya manusia hasil dari masukan (input) dan proses yang cacat bisa berbeda, karena mesin produksi dalam pabrik sebuah perusahaan adalah standar dan statis mengikuti alurnya dapat dipastikan produk yang akan dihasilkan juga akan CACAT atau RUSAK.

Tidak begitu halnya dengan masukannya (input) adalah manusia, hasilnya sebelum kelihatan hasil kerja yang bersangkutan dalam mengelola BUMN bisa menjadi perdebatan (debateable), bisa baik dan juga buruk, tergantung dari individu bersangkutan serta lingkungannya.

Kemudian, manfaat dan dampak apa bagi kepentingan bangsa dan negara atas kontroversi pengangkatan Ahok sebagai Komisaris Utama BUMN Pertamina ini tak lain adalah buang waktu (wasting time) dan buang energi (useless energy) disebabkan hulunya, yaitu UU BUMN itu sendiri telah bermasalah dan terus dilanggar oleh pemerintah di satu sisi.

Sementara di sisi yang lain, manfaat dan dampak atas kontroversi pengangkatan Ahok ini belum bisa diberikan penilaian karena Ahok belum bekerja serta masih berdasar asumsi dan persepsi meributkan soal kinerjanya di masa depan.

Untuk itu, publik perlu menunggu hasil, manfaat dan dampak kontroversi pengangkatan Ahok ini lebih utama pada penyelesaian masalah kemandirian energi yang menjadi salah satu beban tanggungjawab Pertamina.

“Beban itu, terutama soal defisit minyak dan gas bumi (migas) dan transaksi berjalan yang dikeluhkan dan menjadi perhatian serius (seberapa serius tentu kita tak tahu) Presiden Joko Widodo yang tak pernah bisa diatasi oleh pendahulunya,” imbuh Defiyan sembari menegaskan apa yang diuraikannya itu, mengacu konstitusi ekonomi pasal 33 UUD 1945 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini