Ekonom: Revisi Permen PLTS Atap Untungkan Investor, Mengorbankan BUMN

14 September 2021, 06:50 WIB
ilustrasi/Dok. PLN

Jakarta– Rencana revisi Permen ESDM dinilai hanya akan menguntungkan para investor dan mengorbankan BUMN.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengungkapkan hal itu menanggapi rencana Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
(EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan
Kusdiana  melakukan penambahan kapasitas PLTS Atap yang belum sesuai
sasaran (target).

Defiyan mengibaratkan, Badan Usaha Milik Negara strategis selain Pertamina, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga sedang menghadapi posisi sulit, atau ibarat memakan buah simalakama. 

Pasalnya adalah terkait konsistensi kebijakan pemerintah disektor energi yang selalu hanya mengandalkan pada tawaran-tawaran kuantitatif proyek dari berbagai pihak yang akan melakukan investasi.

Kekinian, sehubungan rencana Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana  melakukan penambahan kapasitas PLTS Atap yang belum sesuai sasaran (target). 

Dengan alasan ini, maka upaya yang dilakukan oleh Kementerian ESDM sebagai salah satu dasar dan urgensi melakukan percepatan (akselerasi) melalui revisi Permen PLTS Atap.

Beberapa substansi pokok dalam revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) antara lain:

Pertama, perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja, tetapi juga termasuk pelanggan di wilayah usaha non-PLN (Pemegang Wilayah Usaha)

Kedua, ketentuan ekspor listrik ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen,

Lanjut Defiyan, ketiga, kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan.

Tiga poin perubahan ini saja sudah menunjukkan indikasi awal, bahwa BUMN PLN akan menjadi korban untuk menalangi potensi resikonya. 

Ketentuan ekspor yang diubah dari 65% ke 100% jelas akan memperburuk kinerja PLN, sementara dihulu PLN harus menanggung mekanisme Take Or Pay (TOP) dan dihilir harus menjual kelebihan pasokan listrik (over supply) akibat kebijakan proyek pembangkit listrik 35.000 Mega Watt(MW). 

Soal ketentuan peningkatan ekspor listrik patut dipertanyakan apa alasan melakukan perubahan, apakah ini yang menjadi penghambat terlambatnya program EBTKE? Atau memang investor PLTS Atap yang tidak berkenan mengambil resiko potensi kerugian akibat adanya celah (gap) antara waktu operasi disiang hari dan malam hari?

Sementara Dadan sendiri menyatakan, nilai ekspor listrik ke PLN tidak pernah mencapai 100 persen karena produksi listrik dari PLTS atap akan digunakan terlebih dahulu oleh pelanggan PLTS atap dan bila ada kelebihan produksi listriknya baru di ekspor ke PLN. Lalu dimana letak urgensi revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap?

PLN telah mencatatkan hingga Agustus 2020, perkembangan pembangunan sejumlah 8.382 MW pembangkit dari proyek 35.000 MW yang telah beroperasi.  

Realisasi tersebut baru mencapai 24 persen dari total kapasitas pembangkit yang ditargetkan sebesar 35.540 MW untuk memenuhi penugasan dari pemerintah. 

“Tentu tidak sedikit pula pendanaan yang telah dikeluarkan dan adanya kerugian yang ditimbulkan oleh akibat kelebihan pasokan,” tutur Defiyan dalam keterangan tertulisnya kepada Kabarnusa.com Senin (14/9/2021).

Dengan logika itu, maka tidakkah revisi Permen ESDM ini hanya akan menguntungkan para investor, sementara menurut Menteri BUMN dan Menteri Keuangan beban utang PLN yang sudah mencapai total utang sebesar Rp 649,2 Triliun pada 2020 (Erick Tohir menyampaikan Rp500 Triliun) juga harus diperhatikan oleh Presiden Joko Widodo. 

“Akan lebih bijaksana Presiden menolak mengesahkan revisi Permen ESDM tentang PLTS Atap,” tutupnya. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini