Emas Binokasih dan Langkah Panji: Menghidupkan Kembali Spirit Leluhur Sumedang

Puncak dari perjalanan Panji adalah pertemuannya dengan Mahkota Binokasih Sanghyang Pake di Kecamatan Sumedang Utara. Wilayah ini dulunya merupakan ibu kota Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun.

28 April 2025, 22:23 WIB

Sumedang – Di jantung Tatar Sunda, denyut sejarah bersemi dalam balutan tradisi Kirab Panji dan Kirab Mahkota Kerajaan Sumedang Larang. Kedua kirab ini bukan sekadar arak-arakan, melainkan jejak langkah para leluhur Sumedang dan Pajajaran yang terukir dalam perjalanan waktu.

Di antara pusaka yang dikirabkan, Mahkota Binokasih Sanghyang Pake memancarkan aura kejayaan masa lalu. Tercipta di Kawali Galuh pada tahun 1371 dari emas murni, mahkota ini kini tersimpan apik di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

Lebih dari sekadar simbol kekuasaan, Mahkota Binokasih adalah representasi kasih sayang yang abadi, melahirkan falsafah hidup masyarakat Sunda: Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih, Silih Wangi – saling menajamkan, saling menjaga, saling mengasihi, dan saling mewangikan.

Kawali Galuh pada tahun 1371 dari emas murni, mahkota ini kini tersimpan apik di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang/dok.karatonsumedanglarang

Filosofi inilah yang hingga kini merajut kebersamaan seluruh masyarakat Tatar Sunda.
Kisah Kirab Panji sendiri bermula dari Darmaraja, sebuah wilayah yang menyimpan akar sejarah Sumedang. Di sinilah Kerajaan Tembong Agung berdiri megah pada tahun 680 Masehi, dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih. Sayangnya, jejak makam sang prabu kini terendam oleh Bendungan Jatigede.

Pada tanggal 26 April 2025, Panji mulai diarak oleh masyarakat Darmaraja, bergerak menuju Kecamatan Cisitu. Di sana, Panji diserahterimakan dari Camat Darmaraja kepada Camat Cisitu, sebuah prosesi estafet yang kemudian berlanjut ke Camat Situraja dan berakhir di tangan Camat Ganeas.

Puncak dari perjalanan Panji adalah pertemuannya dengan Mahkota Binokasih Sanghyang Pake di Kecamatan Sumedang Utara. Wilayah ini dulunya merupakan ibu kota Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun.

Pada masa itu, ibu kota Sumedang mengalami perpindahan hingga tiga kali, yaitu Padasuka, Tegalkalong, dan Dayeuhluhur. Di sinilah, di Sumedang Utara, Panji dan Mahkota bertemu, sebelum kemudian dikirabkan bersama oleh seluruh elemen masyarakat menuju Sriamanganti, ibu kota Kabupaten Sumedang saat ini.

Peristiwa sakral ini menandai peringatan Hari Jadi Sumedang yang ke-447 pada tahun 2025. Makna filosofis yang terkandung di dalamnya sangatlah mendalam: mengingatkan generasi penerus untuk tidak melupakan sejarah bangsanya. Nasionalisme tumbuh dari tetesan keringat dan darah para leluhur. Oleh karena itu, merefleksikan sejarah dengan arif dan bijaksana menjadi kunci untuk memperkokoh jati diri bangsa di tengah arus globalisasi yang semakin deras.

Tema Hari Jadi Kabupaten Sumedang kali ini, “Lembur diurus, kota di tata untuk Sumedang Simpati yang lebih Maju,” menegaskan pentingnya membangun kekuatan budaya sebagai landasan kemajuan. Sumedang bertekad menjadi hebat dengan berpegang pada nilai luhur budaya Sunda (Sumedang Puseur Budaya Sunda) yang telah dicanangkan sejak tahun 2009. Kirab Panji dan Mahkota bukan sekadar tradisi, melainkan napas sejarah yang terus dihidupkan, mengingatkan akan akar dan identitas yang tak lekang oleh waktu. ***

Kontributor: Edah Jubaedah, S.S. (Caraka Budaya Sunda)

Berita Lainnya

Terkini