ilustrasi |
Jakarta – Terjadinya inflasi yang rendah bahkan deflasi di sejumlah
daerah di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan berulangnya kesalahan manajemen
risiko dan bencana dalam penanganan pandemi Covid-19.
Jika dilihat, sebelum pandemi Covid 19 terjadi dan dialami secara massif oleh
bangsa Indonesia, kinerja ekonomi makro memang memprihatinkan.
Maka, setelah meluasnya pandemi covid 19, tidaklah heran kinerja perekonomian
semakin merosot tajam, apalagi strategi pembangunan yang telah salah
menempatkan skala prioritas sehingga tak menghasilkan nilai tambah produksi
dan daya ungkit (leverage factor) yang signifikan bagi pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan publikasi, bahwa pada bulan Januari
2021 tingkat inflasi mencapai 0,26%. Dari 90 kota Indeks Harga Konsumen (IHK),
75 kota mengalami inflasi, sedangkan 15 kota lainnya mengalami deflasi.
Sedangkan tingkat inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) mencapai 1,55%.
Dapat dipastikan, bahwa inflasi bulan Januari 2021 yang tercatat sebesar 0,26%
tidaklah menunjukkan adanya tekanan dari sisi pasokan dibanding sisi
permintaan.
“Yang terjadi justru adanya kelebihan pasokan di dalam negeri untuk komoditas
tertentu (konsumsi), sementara impor bahan pangan masih terus mengalir ke
wilayah perkotaan,” tutur Ekonom Konstitusi Defiyan Cori dalam keterangannya,
Kamis (4/2/2021).
Kasus meningkatnya harga daging ayam dan sapi serta menurunnya harga beli
telur ayam pada kelompok peternak dihulunya membuktikan masalah tersebut.
Oleh karena itu, inflasi lebih didominasi oleh naiknya harga-harga pada bahan
makanan seperti naiknya harga kedelai, daging sapi, dan cabai namun hanya pada
kota-kota tertentu.
“Sementara dikota-kota lainnya justru terjadi penumpukan pasokan komoditas
tersebut dan memunculkan reaksi dari kalangan petani dan peternak,” ungkap
alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Pemerintah harus memperhatikan jalur logistik dan distribusi pasokan komoditas
pangan ini, ditengah pandemi covid 19 dan keadaan cuaca yang anomali serta
kemungkinan terjadinya bencana alam.
Kata Defiyan, harus ada kesadaran kolektif didalam kabinet pemerintahan
Presiden Joko Widodo untuk membenahi secara serius fundamental perekonomian
negara dan kesejahteraan ekonomi masyarakat petani, nelayan yang berada
disektor hulu serta pedagang kecil disektor hilir industri.
Bencana alam mutakhir yang terjadi di beberapa daerah, khususnya di Mamuju,
Provinsi Sulawesi Barat harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi bersama agar
logistik dan distribusi antar wilayah dalam memobilisasi pasokan bahan pangan
tidak menimbulkan dampak inflasi sebesar 1,43%.
Untuk itu, pemerintah perlu mengantisipasi sejak dini dan mewaspadai faktor
bencana alam di beberapa daerah untuk bulan-bulan berikutnya, sebab hal ini
berpotensi kembali menaikkan inflasi karena terganggunya distribusi logistik.
Jika dilihat bulan Januari pada daerah-daerah tertentu terjadinya inflasi yang
rendah atau bahkan deflasi disebabkan oleh adanya pembatasan sosial PPKM,
khususnya di Pulau Jawa-Bali yang membatasi mobilitas masyarakat untuk
berbelanja.
Dan, untuk daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa, deflasi terjadi
karena pasokan berlebih (over supply) dan terhambatnya mobilitas ke Pulau Jawa
dan Bali karena persyaratan perjalanan kesehatan yang ketat melalui tes rapid
antigen dan swab sehingga cenderung dihindari masyarakat.
“Inilah kesalahan dalam manajemen resiko dan bencana yang selalu berulang kali
terjadi sehingga merugikan mobilitas perekonomian bangsa dan negara, disamping
koordinasi antar otoritas kementerian yang kacau,” demikian Defiyan.
(rhm)