Kasus Penambangan Batuan Adesit, Aparat Jangan Sewenang-wenang terhadap Warga Wadas Purworejo

25 April 2021, 14:50 WIB
Ilustrasi kekerasan (foto pixabay.com)

Jakarta – Aksi kekerasan aparat gabungan baik kepolisian dan TNI
terhadap warga Desa Wadas Kabupaten Purworejo Jawa Tengah terkait rencana
penambangan Batuan Adesit menuai reaksi dari berbagai pihak termasuk kalangan
kampus.

Berdasarkan catatan YLBHI, tindakan kekerasan tersebut telah mengakibatkan 9
warga luka-luka, dan 11 orang ditahan. Dari 11 orang yang ditahan, dua orang
diantaranya adalah Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) dan Asisten Pengabdi Bantuan
Hukum (APBH) dari LBH Yogyakarta.

Warga Desa Wadas sesungguhnya mengupayakan penolakan sedari awal, terutama
terkait penambangan batu andesit.

Penambangan dikaitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 509/41/2018
yang menetapkan Desa Wadas masuk ke dalam area penambangan batuan andesit,
yang diperuntukkan sebagai bahan proyek pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten
Purworejo, yang direncanakan mulai beroperasi tahun 2023.

Bendungan ini adalah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang
dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Warga melakukan aksi damai, protes dengan
memblokir jalan, dengan menggunakan batang pohon, sambil duduk dan bersalawat.

Tentunya, langkah ini konstitusional dan bagian mendasar dari kebebasan
ekspresi, terlebih ketika warga sebenarnya mengupayakan suara penolakannya,
apalagi upaya hukum pengaduan tidak direspon baik pemerintah di Jawa Tengah.

Ketika aparat gabungan, memaksa masuk, apalagi dengan penggunaan kekerasan dan
penangkapan, sungguh merupakan bentuk pemolisian yang sama sekali tidak
demokratis, dan bertentangan dengan kewajiban perlindungan hak asasi manusia.

Sekretaris CACCP FH Unair Iqbal Felisiano, menyatakan penggunaan kekuatan
kepolisian dan masuknya TNI dalam tindakan pembubaran justru tidak sesuai
dengan tugas dan fungsinya.

Institusi negara, berikut aparat, berkewajiban menggunakan musyawarah atau
dialog dalam menyelesaikan penolakan warga atas pembangunan Bendungan Bener
dan rencana kegiatan tambang di area tersebut.

“Sayangnya, hal ini tidak dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi,”
tuturnya dalam siaran pers diterima Kabarnusa.com, Minggu (25/4/2021).

Ketua Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Franky
Butar-Butar, menilai, hal itu memperlihatkan negara hadir dengan cara-cara
kekerasan dan jelas pelanggaran hak asasi manusia.

“Terutama terhadap hak warga atas ekspresi penolakan atas kebijakan
pembangunan,” imbuh Franky. Aparat gabungan tidak boleh sewenang-wenang
mengintimidasi apalagi melakukan kekerasan terhadap warga.

Franky menegaskan perlunya pengungkapan kasus kekerasan ini dengan cepat dan
transparan, sekaligus mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi terkait
pelaku dan korban tindak kekerasan tersebut.

Sedangkan bagi korban-korban luka harus dipulihkan haknya, dan membebaskan
mereka yang ditahan.

Franky merupakan pula dosen Hukum Lingkungan menegaskan, penahanan atau
perlakuan semena-mena terhadap kuasa hukum warga dari LBH Yogyakarta, telah
merusak sistem hukum perlindungan HAM dan lingkungan, yang dijamin dalam baik
UU HAM 1999 maupun UU Lingkungan Hidup (pasal 66).

Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Widodo Dwi Putro menyatakan
apa yang disebut kepentingan umum, dalam kenyataannya berfungsi mengamankan
kepentingan para pemodal yang ingin berinvestasi pada proyek-proyek
pembangunan.

Sebetulnya masuk kategori proyek komersial atau untuk mendapatkan keuntungan
bagi pihak tertentu dengan mengatasnamakan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
dan Proyek Strategis Nasional.

“Pengorbanan untuk kepentingan umum, lanjut Widodo, menampilkan diri
seolah-olah mengatasi kepentingan parsial individu, padahal sesungguhnya ia
adalah produk kekuasaan,” tandasnya lagi.

Dia mengingatkan, pengorbanan demi kepentingan umum tidak lebih dari
”kekerasan dengan gaya mulia”. Berkorban untuk kepentingan umum cenderung
mengorbankan kelompok-kelompok yang sudah tidak beruntung bagi kepentingan
elite yang sudah beruntung atas nama kepentingan umum.

Kata Widodo, boleh jadi individu-individu diminta berkorban demi kepentingan
umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan diminta dari orang-orang
yang paling lemah, paling miskin, paling tak berdaya, apalagi merusak
lingkungan dan melanggar HAM.

Pandangan serupa disampaikan Herlambang P. Wiratraman, Sekretaris HRLS yang
pula dosen Hukum HAM menyatakan, sosialisasi itu merupakan kewajiban negara
yang tak bisa dipaksa-paksakan, apalagi dengan cara kekerasan.

Kisah kekerasan ini hanya mengulang peristiwa-peristiwa kebijakan pembangunan
sejak jaman otoriter Soeharto, dan anehnya, kini justru terus menerus terjadi
atas nama proyek-proyek strategis (PSN).

Cara-cara kekerasan itu ciri kekuasaan otoriter, dan peristiwa ini
mengafirmasi analisis banyak penelitian akademik bahwa memang masa
pemerintahan Jokowi kian jamak mempraktekkan cara-cara otoriter.

Herlambang mengingatkan, hari ini publik internasional melihat demokrasi
Indonesia mengalami kemunduran, jauh dari upaya maju perlindungan hak asasi
manusia. Terlebih, kekerasan ini terjadi hanya karena penolakan sosialisasi,
yang prosesnya tidak dipercaya warga.

Sosialisasi, sebagaimana kebijakan pembangunan, secara teori memang tokenisme
partisipasi (partisipasi penuh kepalsuan).

Menurut Herlambang, partisipasi dengan bentuk ‘sosialisasi’, lebih merupakan
alat (instrumental) yang levelnya terbatas, upaya meredam amarah publik,
penginformasian, dan bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sesungguhnya
pembohongan publik, atau manipulasi.

Baik Widodo Dwi Putro, Franky Butar-Butar maupun Herlambang P. Wiratraman
menegaskan bahwa upaya persuasif, dialog dan juga menegakkan kejujuran dalam
proses hukum, terutama pemenuhan prasyarat kebijakan pembangunan, termasuk
menghargai dan melindungi hak asasi manusia, merupakan mandat Undang-Undang
Dasar NRI Tahun 1945.

Perlindungan itu termasuk pula upaya maju memenuhi hak warga atas hak-hak
tanah/agraria, termasuk hak hidup dan mempertahankan ruang hidupnya.
(rhm)

Berita Lainnya

Terkini