![]() |
ilustrasi |
Jakarta – Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) harus lebih
dioptimalkan dalam rangka pengawasan internal terhadap Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Pertamina.
Hal itu disampaikan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menanggapi tidak relevannya
pembentukan tim khusus yang akan atau telah dibentuk oleh Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina yang dinilai berpotensi
mengacaukan sistem pengawasan internal di BUMN sebagai entitas ekonomi Negara.
Menangani calon investor yang pernah berminat bekerja sama di proyek kilang
Pertamina yang akan diaudit atau diinvestigasi melalu tim khusus ini, bukanlah
tugas pengawasan komisaris.
“Apalagi, Tim Khusus itu akan bernegosiasi ulang dengan calon investor yang
sempat berminat menggarap proyek kilang dengan Pertamina, sama saja mengambil
alih kewenangan direksi,” Defiyan dalam keterangannya, Kamis (15/10/2020).
Hal ini bukannya mempermudah jalannya operasi perusahaan dan kinerja
manajemen, justru sebaliknya.
Dijelaskan, agar sasaran tujuan BUMN sebagai perusahaan publik dapat tercapai,
maka perlu dilakukan penerapan pengawasan yang mampu mengantisipasi tindak
penyimpangan, mengawasi kinerja manajemen dalam berbagai program dan kegiatan
sebagai ukuran penilaian tata kelola yang baik (good corporate governance).
Untuk itulah, penerapan sistem pengawasan dan penilaian kinerja yang lebih
terbuka menjadi sebuah keharusan pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas publik.
Diketahui, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya PT. Pertamina (Persero)
yang diungkapkan Ahok melalui akun pribadinya (channel youtube) tidak diurus
secara profesional dan bersandarkan hanya utang tidaklah disampaikan melalui
data dan fakta yang valid.
Dan, utang bukanlah merupakan sesuatu aib sebagaimana halnya menjadi fokus
pemberitaan di berbagai media, walaupun Ahok sejatinya tak pernah
menyampaikannya.
Sebagaimana perusahaan atau korporasi swasta lain, utang hanyalah salah satu
cara atau pilihan instrumen dalam melakukan pembiayaan pembangunan bagi
perusahaan maupun negara untuk mengatasi kekurangan dana.
Banyak perusahaan dan bahkan negara menggunakan utang dalam mempercepat proses
pengembangan usaha atau bisnis intinya (core business), begitu juga halnya
negara dalam rangka mengatasi permasalahan kekurangan dana pembangunan untuk
mengakselerasi sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
Perlu diketahui oleh publik, sebagian besar BUMN yang beroperasi sejak pasca
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan warisan
dari perusahaan-perusahaan Belanda dan swasta asing lainnya yang
dinasionalisasikan.
Hal itu dilakukan setelah 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
Milik Belanda di wilayah Indonesia.
Tindaklanjut dari kebijakan tersebut, maka sejak Tahun 1957-1960, terdapat
sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasikan
menjadi BUMN dan ada yang diberikan kepada pengusaha swasta nasional.
Dalam perspektif sejarah inilah, lalu secara akuntansi kekayaan (asset) BUMN
adalah kekayaan (asset) Negara.
Kata Defiyan, Ahok juga harus memahami, perusahaan BUMN seringkali dibuat
dalam posisi dilematis oleh berbagai produk UU yang ada dan terkadang saling
bertolak belakang sehingga akan menyulitkan posisi hukum Direksi dan Komisaris
BUMN di kemudian hari.
Pernyataan Ahok soal utang BUMN Pertamina sebagai tindakan manajerial harus
dilihat dalam perspektif ketentuan dan peraturan UU BUMN, UU No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, berbagai UU Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP), dan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara terkait
pemisahan kekayaan negara yang terdapat pada Pasal 2 huruf (g) dan (h), serta
penugasan pemerintah yang dibebankan pada BUMN.
Lebih dari itu, Ahok harus mempelajari secara mendalam sejarah BUMN melalui
kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya yang
beroperasi berdasar sistem ekonomi kapitalisme menjadi mandat konstitusi
ekonomi Pasal 33 UUD 1945.
Menjadi sebuah kebutuhan mendesak dan merupakan penugasan Pasal 66 UU No. 19
Tahun 2003 tentang BUMN yang telah berulangkali disampaikan Presiden Joko
Widodo serta harus diselesaikan juga oleh jajaran komisaris dengan solutif
terkait kemandirian energi nasional.
“Selama pengelolaan BUMN Pertamina dilakukan oleh jajaran direksi melalui
prinsip-prinsip manajemen serta memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas
publik, maka tidak ada alasan Ahok membentuk tim khusus dimaksud,” Defiyan
menambahkan.
Justru dalam hal pengawasan dan antisipasi penyimpangan yang berpotensi
terjadi, maka melalui SMAP ini Pertamina telah siap mengelola berbagai
kebijakan yang ditugaskan oleh pemerintah, termasuk mengelola utang untuk
pengembangan kapasitas usaha bidang energinya.
“Kapasitas dan energi Ahok harus lebih diarahkan untuk mencapai sasaran dan
tujuan ini, jika ingin dianggap sebagai warga negara yang mengedepankan
nasionalisme bukan ekstrimisme, kecuali Ahok memiliki tujuan lain,” tutupnya.
(rhm)