![]() |
budidaya ikan sistem bioflok banyak menarik minat pembudidaya karena menjanjikan peningkatan pendapatan hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan sistem konvensional/Dok. KKP. |
Jakarta – Teknologi budidaya ikan sistem bioflok semakin banyak menarik minat masyarakat untuk dapat diaplikasikan terutama untuk komoditas ikan air tawar seperti ikan lele/nila sebagai solusi terutama untuk pemanfaatan lahan terbatas.
Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong pemanfaatan teknologi ini untuk dapat diaplikasikan lebih luas untuk dapat meningkatkan produksi serta pendapatan pembudidaya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu, menjelaskan, sebagai salah satu program prioritas bantuan pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana budidaya ikan sistem bioflok banyak menarik minat pembudidaya karena menjanjikan peningkatan pendapatan hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan sistem konvensional.
Hal ini tidak lain karena keunggulan yang ditawarkan oleh sistem bioflok ini yang mampu menampung padat tebar yang tinggi, efisien dalam penggunaan pakan dan air, serta dapat memaksimalkan penggunaan lahan.
“Keunggulan lain jika dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional, teknologi bioflok dianggap lebih ramah lingkungan karena hemat dalam hal penggunaan air,” kata Tebe, sapaannya dalam keterangan tertulis Minggu (26/9/2021).
Air bekas budidaya juga tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayuran dan buah-buahan.
Tebe juga menilai komoditas yang ditawarkan dalam program bantuan ini, ikan lele dan nila merupakan komoditas favorit masyarakat, jadi relatif lebih mudah dalam pemasaran, karena permintaan pasar yang tinggi.
Kata dia, keberhasilan teknologi inovasi ini tentunya memerlukan kedisiplinan yang tinggi dalam pelaksanaannya, sehingga pendampingan yang berkesinambungan akan tetap dilakukan oleh tim teknis kami maupun melalui penyuluh dan dinas setempat.
Harapannya program ini dapat berjalan secara berkelanjutan untuk menyejahterakan pembudidaya sekaligus menjadi jawaban akan kebutuhan pangan berprotein tinggi di masyarakat,” lanjut Tebe.
Dia memberi gambaran, untuk pemeliharaan 30 ribu benih ikan lele pada 10 bak kolam bulat berdiameter 3 meter membutuhkan biaya produksi untuk benih, pakan, listrik dan probiotik sebesar Rp40,6 juta per siklus atau 3 bulan.
Investasi awal untuk kolam bulat, instalasi air dan aerasi serta peralatan budidaya dan juga biaya tetap per siklus untuk instalasi listrik dan upah tenaga kerja 1 orang membutuhkan biaya sebesar Rp. 40 juta.
Dengan perhitungan sintasan 90% dan bobot panen size 8 ekor per kilo setelah 3 bulan pemeliharaan, akan didapatkan 3.375 kg.
Hasil yang didapatkan dengan asumsi harga jual Rp15 ribu per kilo adalah Rp50,6 juta per siklus selama 3 bulan pemeliharaan.
Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi, Boyun Handoyo juga mengungkapkan hal sama, konstruksi kolam bioflok yang berbentuk bulat sangat efisien dalam penggunaan lahan serta tidak merusak konstruksi tanah, karena tidak ada penggalian tanah.
“Hal lain yang tidak kalah penting dalam budidaya sistem bioflok ini adalah perencanaan yang matang terutama dalam hal konstruksi wadah budidaya, sumber air bersih, sumber daya listrik, ketersediaan sarana budidaya seperti benih berkualitas dan bahan pendukung lain.
“Serta kapasitas produksi dan daya serap pasar di lokasi budidaya,” papar Boyun.
ebelumnya, BPBAT Sungai Gelam telah berkoordinasi dengan Pemda Kota Prabumulih dan sepakat untuk menjadikan Kota Prabumulih sebagai kota 1.000 kolam bioflok.
Dengan kolaborasi ini dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, program bioflok di Kota Prabumulih diyakini dapat sukses menjaga ketahanan pangan serta menyejahterakan masyarakat.
“Kami berharap bantuan ini akan berkelanjutan, menghasilkan panen sesuai target dan bertambah produksinya serta ditiru oleh masyarakat sekitarnya,” tutupnya.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengusung tiga program terobosan KKP, dimana salah satunya ialah pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya baik tawar, payau maupun laut berbasis kearifan lokal.
“Pengembangan kampung-kampung perikanan perlu didorong sebagai upaya terciptanya lapangan kerja baru dan naiknya kesejahteraan masyarakat,” demikian Trenggono. (rhm)