Leptospirosis di Sleman Mengkhawatirkan, 82 Kasus Ditemukan dengan 9 Kematian Sepanjang 2025

Dinkes Kabupaten Sleman mencatat lonjakan kasus leptospirosis yang mengkhawatirkan sepanjang tahun 2025, dengan total 82 kasus

30 Oktober 2025, 06:27 WIB

Sleman – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sleman mencatat lonjakan kasus leptospirosis yang mengkhawatirkan sepanjang tahun 2025, dengan total 82 kasus dan sembilan di antaranya berakhir dengan kematian.

Angka ini menempatkan tingkat fatalitas kasus (CFR) leptospirosis Sleman mencapai 6,10 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).

Kepala Dinkes Sleman, Cahya Purnama, pada Selasa (28/10/2025), menyatakan bahwa penyakit ini menjadi perhatian serius karena sulitnya penanganan.

“Sampai saat ini terjadi 9 kematian. Iya, lebih berat pada leptospirosis daripada demam berdarah, karena intervensinya pun amat sulit karena ini tikus,” ungkap Cahya kepada awak media.

Penyakit ini menular melalui paparan bakteri Leptospira dari tikus yang terinfeksi.

Menurut Cahya, pengendalian leptospirosis sangat bergantung pada penanggulangan populasi tikus secara serentak yang harus melibatkan lintas sektor, termasuk

Dinas Pertanian dan masyarakat. “Kita harus serentak menganggap bahwa ini hama,” tegasnya.

Menariknya, kasus kini tidak hanya ditemukan di wilayah barat seperti Minggir yang merupakan area persawahan, tetapi juga telah bergeser ke Kapanewon Ngemplak.

Kasus di Ngemplak justru ditemukan di lingkungan kerja, seperti tempat mebel yang kumuh.

Cahya mencontohkan, penularan dapat terjadi karena kebiasaan merokok dengan menaruh rokok di meja yang mungkin telah terkontaminasi urine tikus.

Mayoritas kasus di Sleman dialami oleh laki-laki berusia di atas 50 tahun dengan aktivitas berisiko tinggi seperti bertani, membersihkan selokan, atau bekerja tanpa alat pelindung diri (APD).

Cahya Purnama menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala awal leptospirosis yang kerap disalahartikan sebagai flu biasa, yaitu demam tinggi, nyeri betis, serta mata merah atau kuning.

“Kalau ada tanda-tanda itu segera berobat. Kematian itu terjadi karena keterlambatan pengobatan,” imbau Cahya.

Ia menyebut, banyak kasus berakhir fatal karena pasien terlambat mencari pertolongan, rata-rata baru dibawa ke fasilitas kesehatan setelah lima hari sejak gejala muncul.

Senada dengan itu, Bidang Yankes Dinkes Sleman, dr. Yuli, menambahkan, keterlambatan penanganan medis menjadi penyebab utama kematian akibat leptospirosis. dr. Yuli juga mencatat lima kapanewon dengan kasus terbesar adalah Ngemplak, Depok, Prambanan, Minggir, dan Ngaglik.

Oleh karena itu, penegasan dilakukan pada pembersihan lingkungan dan pengelolaan sampah yang baik sebagai kunci pencegahan. “Selama masih ada sampah-sampah seperti ini, populasi tikus akan meningkat terus,” pungkas Cahya,

Dia berharap semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan komponen masyarakat bergerak untuk edukasi dan pemberantasan hama tikus. ***

Berita Lainnya

Terkini