![]() |
Media Gathering DJP Bali (Foto:KabarNusa) |
KabarNusa.com, Denpasar – Para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) di Bali banyak yang belum melaksanakan kewajiban pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.
PP tersebut, berisi tentang pengenaan pajak penghasilan (PPh) final bagi Wajib Pajak dengan penghasilan di bawah 4,8 miliar setahunnya.
Mengacu aturan itu, maka pengusaha UKM sebenarnya hanya dikenakan pembayaran pajak sebesar 1 persen dari omset selama satu bulannya. Hanya saja, aturan itu belum bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan.
“Sebenarnya, mekanisme, ketentuan dan besaran pajak yang mesti dibayar sekarang lebih sederhana, yakni satu persen dikalikan omset yang dicapai sebulan. Wajib pajak, yang menghitung dan membayarkan besaran pajaknya sendiri,” jelas Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat P2HUmas Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali Tubagus Djodi Rawayan Antawidjaja di Kuta, Kamis (24/4/2014).
Berdasar data dihimpun DJP Bali, secara nasional, jumlah UKM yang dikenai aturan sesuai sebesar satu persen bukan dari aset melainkan dari omset brotto sebulan, jumlahnya mencapai UKM.
Dengan jumlah itu, kontrubusi dari UKM secara nasional mencapai Rp1,269 Triliun dari PDB sebesar Rp2,2 Triliun.
Sementara di Bali, jelas Djodi realiasi pajak dari UKM belum sesuai yang diharapkan. Dari sekira 210 unit UKM yang terdaftar sebagai wajib pajak, sesuai data Tahun 2011, yang terkena PP 46 realisasinya hanya 40 ribu UKM.
Dari jumlah itu, realisasinya hanya 15.923 UKM yang memasukkan SPT pembayaran pajaknya. Sisanya, melaporkan ada yang nihil kegiatan usahanya sehingga hal itu menimbulkan gap atau jarak yang cukup besar dengan penerimaan pajak dari pengusaha menengah atas.
Menyadari hal itu, DJP Bali terus melakukan upaya”Self Assassment” mendorong wajib pajak agar bisa melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya sendiri baik secara langsung ke kantor pajak maupun secara sistem electronik filling (E-Filling).
Rendahnya kesadaran wajib pajak dari pengusaha UKM itu, menjadi penyebab tidak maksimalnya potensi penerimaan pajak yang diterima pemerintah.
Selain itu, masih adanya keengganan wajib pajak untuk mengakses informasi termasuk aturan-aturan yang mestinya dijalankan sebagaimana diamanatkan dala PP 46.
Di pihak lain, dibandingkan dengan negara lain, tingkat kepatuhan wajib pajak, Indonesia masih tertinggal. Pada tahun 2011 lalu, bahkan Indonesia menduduki peringkayt 11 dunia dalam kategori, wajib pajak individu dan perusahana yang telah menggunakan internet untuk pembayaran pajaknya.
“Kita baru 6 persen, sementara negara Argentina saja warga yang menggunakan E-Filling dan akses internet mencapai 22 persen,” katanya mencontohkan. (gek)