![]() |
I Nengah Yasa Adi Susanto |
DENPASAR– Pemerhati TKI yang juga Legal Consultant PT. Ratu Oceania Raya Bali I Nengah Yasa Adi Susanto mengungkapkan MLC 2006 tidak mewajibkan perusahaan kapal pesiar membayar tiket keberangkatan Pelaut
Hal itu disampaikan Adi menanggapi pernyataan Ketua KPI Bali, I Dewa Putu Susila yang beredar di media sosial serta di salah satu stasiun TV lokal Bali.
Dalam pernyataannya, Susila menyatakan bahwa biaya bekerja di kapal pesiar mahal, karena calon pelaut dibebankan membayar tiket keberangkatan sendiri yang mencapai Rp20 hingga Rp 25 juta rupiah.
Padahal sesuai aturan internasional Maritime Labour Convention (MLC) 2006, biaya tiket tersebut wajib dibayarkan perusahaan kapal pesiar bersangkutan.
Menurut Adi seharusnya sebagai orang yang selalu berkecimpung di dunia kepelautan Ketua KPI Bali lebih paham dengan aturan yang ada.
“Jangan sampai memberikan pernyataan untuk pencitraan diri yang menyesatkan masyarakat khususnya pencari kerja ke kapal pesiar termasuk juga orang tua mereka,’ ujar Adi dalam rilis Senin (16/4/2018).
Menurut pria yang pernah bekerja selama 10 tahun jadi Sommelier di Celebrity Cruises ini, tidak ada satupun pasal atau regulationdi MLC (Maritime LabourConvention) 2006 yang mengharuskan bahwa perusahaan kapal pesiar wajib menanggung biaya tiket bagi Pelaut yang akan diberangkatkan ke perusahaan kapal pesiar.
Yang diwajibkan di MLC 2006 adalah bahwa perusahaan wajib untuk membayar ganti rugi (reimbursment) biaya visa yang dikeluarkan oleh Pelaut.
Itupun, hanya biaya yang dibayarkan di kedutaan tempat Pelaut mencari visa sedangkan biaya keberangkatan dan akomodasi pengurusan visa tidak ditanggung oleh perusahaan kapal pesiar.
Sesuai dengan MLC 2006 agen-agen pengawakan yang menawarkan jasa perekrutan tidak boleh mengenakan biaya kepada calon Pelaut untuk mendapatkan pekerjaan atau Agencyfee.
Sedangkan biaya-biaya untuk medicalcheckup, pembuatan buku pelaut, paspor atau dokumen-dokumen perjalanan lainnya ditanggung oleh Pelaut sendiri.
Perusahaan kapal pesiar itu banyak yang merekrut calon-calon Pelaut di Bali dan Indonesia umumnya dan banyak sekali perusahaan tersebut yang memberikan fasilitas berupa tiket keberangkatan dan biaya medicalcheck-up untuk Pelaut yang berangkat pertama kali atau newhirecrew, jadi tergantung kebijakan dari perusahaan masing-masing.
“Kami sendiri di PT. Ratu Oceania Raya Bali ada beberapa perusahaan yang kami ajak kerjasama memberikan tiket keberangkatan gratis kepada newhirecrewtermasuk juga biaya medicalcheckup,” ungkapnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut diantaranya Disney Cruise Line, Viking Cruise Line, P&O Cruise Line danCunardCruise Line jadi calon Pelaut itu hanya mengeluarkan biaya maksimal Rp 10-15 juta saja untuk bisa bekerja di luar negeri.
Sedangkan perusahaan seperti Royal CaribbeanCruise Ltd, mewajibkan calon Pelaut untuk membayar tiket keberangkatan kecuali posisi untuk Laundryman.
“Sedangkan untuk kontrak berikutnya crew yang non tippingsystem seperti posisi Cook, HousekeepingCleaner dan posisi lainnya akan diberikan tiket pulang pergi saat kontraknya berakhir,” tambah Adi.
Menurut pria asli Desa Bugbug, Karangasem yang juga Ketua DPW PSI Bali inimenambahkan MLC 2006 yang juga dikenal dengan Hak Asasi Pelaut ini menggabungkan dan terdiri atas enam puluh delapan konvensi dan rekomendasi ketenagakerjaan maritim yang telah ada.
MLC ini didesain untuk bersanding dengan regulasi seperti standar-standar Organisasi Maritim Internasional (IMO) tentang keselamatan kapal, keamanan dan kualitas manajemen kapal (seperti SOLAS, STCW dan MARPOL).
Indonesia telah meratifikasi MLC 2006 sejak tahun 2016 lalu menjadi Undang-undang nomor 15 tahun 2016 tentang pengesahan MLC 2006, jadi tentunya Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi MLC 2006 ini sudah pasti harus mentaati seluruh aturan yang dimuat di MLC 2006 tersebut.
“Harapan saya Ketua KPI Bali I Dewa Putu Susila mencabut pernyataan sekaligus meminta maaf kepada para calon Pelaut beserta orang tua mereka karena telah memberikan pernyataan keliru dan menyesatkan serta telah menimbulkan kegaduhan,” ujar Adi.
Ia mengaku banyak sekali mendapatkan SMS, WA dan bahkan banyak crew yang lagi liburan, calon Pelaut dan orang tua mereka yang menelepon dan menanyakan kebenaran pernyataan Ketua KPI tersebut.
“Setelah saya jelaskan akhirnya mereka mengerti,” tutup Adi yang kerap mengadvokasi TKI ini.
Hingga kini belum diperoleh tanggapan dari pihak Dewa Putu Susila terkait harapan salah satu pemerhati TKI dan konsultan hukum ini (*)