PAKTA Konsumen Tegaskan Perda KTR Mengatur Bukan Mengubur

25 Agustus 2018, 22:02 WIB
Direktur PAKTA Konsumen Hananto Wibisono

JAKARTA – Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) merupakan wujud solusi yang bijaksana atas pengaturan aktivitas mengkonsumsi rokok sebagai produk yang legal dan aktivitas perlindungan terhadap non-perokok.

Dengan tersedianya tempat khusus merokok maka kegiatan merokok dilakukan pada tempat yang telah disediakan dan mengurangi dampaknya bagi non perokok.

PAKTA KONSUMEN Hananto Wibisono mendukung adanya aturan yang adil dan berimbang bagi seluruh pemangku kepentingan, serta tidak ada diskriminasi dalam hal kesempatan bagi setiap warga untuk memiliki hak yang sama.

Perihal larangan berjualan, berpromosi, dan beriklan di kawasan tanpa rokok perlu dikecualikan di tempat kerja dan tempat umum. Sebagai produk yang legal maka informasi produk rokok dapat dikomunikasikan kepada konsumennya.

Meskipun UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Putusan MK Nomor 57/PUU – IX/2011 dan PP 109/2012 sudah menjelaskan secara detail, namun pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Ditemukan beragam versi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di tingkat daerah yang bertentangan dan tidak selaras dengan tatanan hukum diatasnya.

Bagaimana dengan asas lex superior yang mengatakan bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah? Apakah tidak bertentangan?

Perundangan Republik Indonesia masih menjamin kegiatan iklan produk tembakau, misalnya Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan atau jasa.

Mahkamah Konstitusi dalam mencermati Pasal 46 ayat (3) huruf c a quo termasuk perundang-undangan lainnya, tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan.

Terlebih lagi tidak ada larangan untuk diperjualbelikan begitu pun tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang, sehingga rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau” (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009,Poin 3.18, halaman 279).

Hananto menyatakan, Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok dibuat dengan tetap mempertimbangkan aspek sosial ekonomi industri hasil tembakau (IHT). Menurut Hananto keberadaan Perda KTR yang melampaui PP 109/2012, akan menimbulkan efek domino penurunan sosial ekonomi pada sektor industri hasil tembakau.

“Potential lost ekonomi pada indusri hasil tembakau juga akan berimbas pada pekerja pabrik, petani tembakau, petani cengkeh dan peritel serta teralienasinya keberadaan konsumen produk tembakau,” katanya dalam rilis diterima Kabarnusa.com, Sabtu (25/8/2018).

Jika dimaksudkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tersebut untuk mengatur paparan asap rokok bagi perokok pasif, ibu hamil dan anak-anak, kata Hananto, sebaiknya yang diatur adalah zonanya bukan tata niaganya.

Diketahui, Direktorat Bea dan Cukai (Siaran Pers, 3 Januari 2017) mengakui, pada tahun 2016, penerimaan negara dari cukai rokok sebesar ± 9 % dari total penerimaan negara dari pajak. Sebuah angka yang cukup signifikan bukan?

“Sektor tembakau saat ini telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap pemerintah daerah tidak menambah dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang eksesif.” tegasnya

Regulasi tentang kawasan tanpa rokok (KTR) adalah regulasi di tingkat Kabupaten Kota yang dianggap menjadi bagian penilaian “Good Goverment”.

Oleh karenanya, setiap daerah akan memetakan regulasi ini sebagai salah satu prioritas. Catatan Kementrian kesehatan menunjukkan bahwa dari 514 daerah Kabupaten/Kota saat ini sudah terdapat 309 daerah kabupaten kota dan 19 provinsi, yang memiliki regulasi KTR.

Dijelaskannya, selain menjadi bagian penilaian “Good Goverment”, regulasi ini juga sebuah pengaturan yang menyangkut banyak pihak (konsumen, peritel, pekerja dan petani), dimana merokok sudah menjadi bagian kebiasaan masyarakat atau bahkan budaya masyarakat.

Terlepas dari penilaian budaya dalam hal ini sebagai budaya positif, negatif atau netral, tetapi yang pasti adalah menyangkut perilaku, kebiasaan sebagian masyarakat, yang telah berlangsung berabad-abad. Implikasi dari semuanya ini adalah hadirnya regulasi ini penuh tantangan.

“Tantangan bukan berarti kendala atau hambatan, namun tantangan ditafsirkan sebagai sebuah semangat agar seluruh proses pra dan pasca lahirnya regulasi merupakan proses bersama (publik), bersifat edukatif, berjalan lebih evolutif (bukan revolutif), komprehensif dan implementatif,” tuturnya.

Kata regulasi mengandung makna langsung “pengaturan”, sehingga pemahaman sederhananya regulasi KTR adalah “pengaturan” Kawasan Tanpa Rokok. Sudah barang tentu bahwa “pengaturan” sangat berbeda dengan “larangan”.

Dalam kerangka menuju hidup bersama, dalam lingkungan yang bertenggang rasa, tentu publik berharap bahwa regulasi ini sungguh menjadi regulasi yang tidak sekedar ada, tetapi sebuah pengaturan yang memang bisa dilaksanakan.

“Para pemangku kepentingan perlu mendapat pemahaman yang cukup, disamping mereka bersama-sama dijamin hak-hak dan kewajibannya secara berimbang,” demikian Hananto. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini