Jakarta – Sinergi BUMN dan Koperasi salah satu cara yang tepat untuk
dijalankan dalam menghela perekonomian negara agar pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan hasil-hasilnya melalui penguasaan hulu hingga hilir industri
perikanan dan kelautan bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan daerah-daerah
sehingga efek menetes ke bawah (trickle down effect) menjadi nyata.
Hal itu disampaikan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menanggapi persoalan
pemberian izin benih lobster yang berujung pada penangkapan terhadap Menteri
Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada Rabu dinihari, 25 November 2020.
Tiga bulan lebih waktu berlalu sejak bulan Juli 2020, publik dikejutkan oleh
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (periode 2014-2019) Susi Pudjiastuti
telah menyampaikan kritikan terkait pemberian izin ekspor benih lobster kepada
26 perusahaan oleh Kementerian Kelautan dan P.erikanan.
Persoalan ini bukan hanya sekali disampaikannya atas rencana pemerintah
membuka keran ekspor benih lobster lewat akun media sosialnya.
Pada tanggal 1 Juli 2020, KKP cq Dirjen Tangkap telah menerbitkan ijin tangkap
kepada 26 eksportir bibit lobster tersebut, lalu ditanggapi Susi Pudjiastuti
dengan kata. Luar biasaa !!!”.
KPK menangkap Edhy beserta 10 orang lainnya dengan dugaan korupsi ekspor benih
udang lobster (benur) yang dipermasalahkan oleh mantan Menteri KP terdahulu.
“Publik tentu berharap, bahwa KPK dapat bekerja secara adil dan profesional
dalam berbagai kasus korupsi yang “menyakiti” hati rakyat ditengah pandemi
covid 19 yang membuat perekonomian bangsa dan negara serta masyarakat semakin
sulit,” tandas Defiyan dalam keterangannya, Minggu (29/11/2020).
Tentu saja sekaligus membenahi fundamental perekonomian bangsa dan negara yang
telah diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945, dan harus ditegakkan dan dijalankan
oleh pemerintah.
Pasal 33 UUD 1945 (ayat 1,2, dan 3) merupakan konstitusi ekonomi yang
menjelaskan soal susunan, prinsip, dan cabang-cabang produksi penting melalui
penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, yang harus
diformulasikan menjadi sistem ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi
Konstitusi.
Pada ayat 1 jelas sekali pernyataan, bahwa susunan perekonomian merupakan
sebuah USAHA BERSAMA dengan azas KEKELUARGAAN.
Peran negara dan perusahaan negara (BUMN) dalam kegiatan usaha yang berujung
pada “kemakmuran bersama”, dan Koperasi yang berbasis pada kekuatan anggota
adalah soko guru perekonomian nasional.
Maka dari itu, selain menjadi konstitusi politik yang mengatur ketatanegaraan
Republik Indonesia,, sesungguhnya UUD 1945 merupakan konstitusi ekonomi.
Sangat disayangkan, pasca reformasi (mundurnya Presiden Soeharto) rujukan
utama perekonomian dalam setiap kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, serta
kegiatan usaha tidak lagi berasal dari sumber hukum utama, yaitu dasar negara
dan konstitusi UUD 1945.
Semua kebijakan ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang
(UU) banyak bertentangan dengan UUD 1945, serta dengan lepas tangan setiap
produk Undang-Undang yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kelompok masyarakat dipersilahkan melakukan uji materi (judicial review) ke
Mahkamah Konstitusi (MK) sebuah lembaga baru hasil reformasi kelembagaan dan
menghilangkan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Melalui kasus korupsi yang berulang kali terjadi dalam setiap pemerintahan
Indonesia, maka perlu kiranya segenap elemen bangsa, baik itu partai politik
dan lembaga negara lainnya menegakkan Sistem Ekonomi yang merujuk pada
Konstitusi ini.
Sebab, sejarah lahirnya bangsa dan negara ini dilalui oleh perjuangan melawan
penindasan ekonomi oleh korporasi swasta VOC serta kolonialisme Belanda dan
terbentuknya ide konstitusi ekonomi mudah diterima oleh para pendiri bangsa
(founding father) saat itu sebagai sebuah kesepakatan bersama karena adanya
rasa senasib sepenanggungan dan kemandirian (self help).
Selain itu, negara-negara yang menganut sistem hukum sipil (civil law) di
negara-negara Eropa Kontinenta menerapkan konstitusi ekonomi sebagai landasan
sistem ekonomi mereka daripada di negara-negara yang menganut sistem hukum
“common law” seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
“Praktek yang terjadi di Indonesia saat ini, lain yang dinyatakan oleh
konstitusi ekonomi, lain pula yang dijalankan oleh pemerintah melalui UU yang
diterbitkan (termasuk Omnibus Law),” jelasnya.
Pemberian izin ekspor benih udang lobster (benur) kepada 26 perusahaan swasta
melalui kedekatannya (nepotisme) dengan pengambil kebijakan (korporasi) yang
dimiliki oleh orang per orang jelas mencederai prinsip usaha bersama dan
mengabaikan kemakmuran bersama dalam pengelolaan SDA.
Apalagi yang diekspor adalah benih lobster yang masih dapat ditingkatkan nilai
ekonominya (added value) di dalam negeri, membuka dan memperluas lapangan
kerja untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan di desa-desa wilayah
perairan Indonesia.
Sudah sepatutnya, Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah strategis
dalam menegakkan sistem ekonomi konstitusi (usaha bersama) dan berperan dalam
setiap penyusunan UU yang mengatur soal harta kekayaan Sumber Daya Alam (SDA)
yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia dengan lebih memberikan peran
kelembagaan ekonominya pada Koperasi dan BUMN.
Terkait dengan sumber daya perikanan dan kelautan, seperti udang lobster dan
lain-lainya sebaiknya kebijakan strategis diarahkan untuk mengembangkan usaha
turun temurun para nelayan melalui koperasi dibanding menjadi perebutan
korporasi swasta yang hanya memakmurkan orang per orang.
Untuk itu, pengelolaan industri perikanan dan kelautan (hasil laut)dinikmati
hasilnya secara langsung oleh masyarakat sebagai anggota Koperasi, berbeda
halnya dengan bentuk badan hukum korporasi swasta (PT,CV) yang hasilnya
mengalir hanya kepada pemilik modal (pemegang saham) saja.
“Kembalilah Presiden Jokowi ke janji pro-rakyat dan kemandirian ekonomi negara
ketika kampanye pilpres dulu sesuai konstitusi ekonomi,” demikian Defiyan.
(rhm)