DENPASAR – Hasil penelitian dilakukan Universitas Udayana Denpasar mengindikasikan banyak warga di Bali menderita penyakit DM (diabetes mellitus) atau kencing manis meskipun kasusnya masih sulit ditemukan.
Dalam sebuah desiminasi dan workshop digelar Program Studi Kesehatan Masyarakat Faultas Kedokteran Unud yang dimaksudkan untuk meningkatkan temuan kasus DM, terungkap bahwa di Bali banyak kasus DM namun susah ditemukan.
“Angka kasusnya di Bali, lebih rendah dari nasional namun kita berusaha mencari bagaimana meningkatkan temuan,” kata Ketua Tim Peneliti Ketut Suarjana di Denpasar Jumat 14 Oktober 2016
Salah satu upanya dilakukan kemenkes yang menggulirkan algoiritma konsensus, dengan menentukan skrining pasien DM diterapkan di Denpasar. Tercatat, penderita DM yang ditangani di Denpasar dengan usia terendah 19 tahun dan tertinggi sampai 90 tahun.
Denpasar telah dijadikan proyek percontohan. Dari hasil temuan algoritma konsensus Kemenkes itu, perlu dikembangkan lagi. Artinya, pada tataran teknis agar supaya bisa dilakukan petugas di lapangan
“Jadi, ini masih umum sifanya yang dilakukan Kemenkes, kita akan kembangkan hasilnya dalam diskusi yang melibatkan stakeholder,” sambungnya,
Mereka yang terlibat seperti dari Puskesmas, BPJS sebagai pihak pembayar hingga pasien umum juga dilibatkan dalam deseminasi itu.
Hasilnya, ditemukan kasus DM baru yang dilakukan dalam penelitain itu dengan 600 sampel responden. Ada dua yang positif sedangkan 50 persen terduga atau masih banyak belum terjangkau.
Diakui Suarjana, ada kelemahan terjadi karena masih banyak kasus yang tidak bisa ditindaklanjuti. Pasalnya, penelitian itu dibuat senatural mungkin, tidak ada paksaan,
“Kalau ada pasien menolak, ya kita tidak bisa paksa, kita sebatas imbau saja,” imbuhnya.
Kelemahan lainnya, ditemukan, kendala jarak Puskesmas karena pasien harus ke rumah sakit untuk periksa kemudina balik lagi periksa ke Puskemas.
Jadi, alurnya lumayan ribet, sehingga tak sedikit yang kasusnya putus di tengah jalan.
Pasiem DM secara teori berisiko besar karena kebanyakan tidak bergejala. Kalau mereka sadar pengetahuannya, mengikuti algoritma konsensus Kemenskes itu sampai tuntas, mereka rata-rata berpendidikan menengah ke atas.
Belum lagi, di rumah sakit untuk tarif rontgen lebih rendah. Kalau banyak pasien dirujuk di rumah sakit tentu nantinya pihak rumah sakit akan keberatan karena terjadi gap tarif yang cukup tinggi dibanding tarif nornal.
“Kalau satu dua pasien tidak masalah, kalau sampai banyak ratusan orang, bisa semakin melebar tarifnya,” tandasnya.
Untuk di Bali, diperkirakan ada sekira 1,3 persen dari populasi penduduk yang mencapai hampir 5 juta orang.
“Makanya kita mulai aplikasikan kebijakan pusat di daerah, meskipun ada beberapa kelemahan tadi,” imbuhnya.
Di pihak lain, Kepala Dinas Kesehatan Bali Ketut Suarjaya, menyinggung soal penderita Tubercolosis (TB) sebagai salah satu penyakit menular termasuk ke pasien DM akibat daya kebal tubuhnya lemah.
Penderita TB, yang kerap tidak disiplin meminum obat sehingga yakni harus minum obat selama enam bulan tanpa putus.
Infeksi TB didiga mempermudah seseorang menyandang DM dan di perkirakan 13 sampai 20 peersen pasien TB mengalami gejala DM. (rhm)