Training Cek Fakta yang dihelat Asosiasi Media Siber (AMSI) Wilayah Bali secara webinar/Kabarnusa |
Denpasar – Pemeriksa fakta atau fact checker terhadap informasi berupa
teks foto atau video yang beredar di masyarakat harus mengedepankan etika yang
dalam proses pemeriksaan dilakukan secara transparan atas metoda dan referensi
yang dipergunakan.
Trainer Cek Fakta bersertifikat Google, Reinardo Sinaga mengingatkan
pentingnya pemeriksa atau pengecek fakta untuk memperhatikan etika pemeriksaan
saat memberikan training cek fakta yang dihelat Asosiasi Media Siber Indonesia
(AMSI) Wilayah Bali pada hari kedua, Sabtu (7/11/2020).
Didampingi trainer lainnya, I Nengah Muliarta yang juga Ketua AMSI Bali,
Reinardo memberikan tools, teknik dan pemeriksaan fakta yang perlu dilakukan
untuk memverifikasi informasi atau berita yang beredar di dunia maya seperti
media sosial.
Ada beberapa metode dan tools yang tersedia bisa dimanfaatkan di internet atau
browser seperti google, yahoo atau bing.
Demikian juga, beberapa tools lainnya juga tersedia saat memeriksa fakta video
atau foto dengan menggunakan Yandex, facebook dan lainnya untuk memastikan
apakah bohong atau sesuai fakta.
Sembari memberikan contoh beberapa video seperti dalam kasus anggota DPD RI
Arya Wedakarna yang viral di Bali, hingga kasus-kasus terkait Pilkada di Tanah
Air. Peserta training diminta melakukan pengecekan penelusuran memakai tools
yang telah diberikan.
Pada bagian lain, seiring membanjirnya informasi, masyarakat dibuat bingung
resah dengan beredarnya foto atau video yang dipotong, diduplikasi oleh pelaku
kemudian dirangkai, digabungkan satu dengan lainnya kemudian disebar.
Cilakanya, masyarakat yang kurang literasi informasi dan literasi media, tidak
bisa menyaring kebenarannya kemudian langsung mendistribusikan atau membagikan
ke jejaring sosial seperti WhatsApp atau WA dan Facebook.
Padahal, banyak diantara foto atau video yang beredar berisi informasi yang
tidak benar atau hoax, disinformasi dan misinformasi. Hanya penggalan atau
potongan video tidak secara utuh ditampilkan, kemudian dibumbui narasi yang
menyulut kebencian atau permusuhan SARA dan kepentingan tertentu.
Edo, sapaan, Reinardo, juga mencontohkan, untuk mengelabuhi pembaca, biasanya
pelaku menggunakan potongan foto-foto atau berita dari media yang memiliki
nama-nama mirip dengan media besar yang sudah kredibel.
Penyebar hoax biasanya, memakai foto-foto lama digabungkan dengan foto baru,
dibuat semirip mungkin, seolah-olah sesuai dengan narasi yang dibuat.
Atau juga, isi berita dipotong, tidak ditampilkan secara utuh kemudian diisi
dengan narasi yang dibuat untuk kepentingan membunuh karakter atau menyerang
pihak lain sebagaimana kerap terjadi saat pertarungan di Pilkada.
Namun, dengan menguasai tools yang sudah ada seperti google maps, google eart,
wikimedia, maka akan bisa diketahui, kapan, dimana foto diambil. Demikian juga
dengan video, bisa diambil foto atau penggalan video kemudian dilakukan
pengecekan, akan diketahui kapan dan dimana dibuat.
“Salah satu cara paling gampang ya memeriksa media tersebut di web Dewan Pers,
apakah terdaftar sebagai media tervirifikasi atau tidak,” kata Sekretaris AJI
Pontianak ini.
Meskipun diakui, banyak juga media yang memegang teguh Kode Etik Jurnalistik
(KEJ), namun namanya tidak muncul di Web Dewan Pers, karena berproses untuk
pendaftaran dan verifikasi.
Setidaknya, media-media yang memiliki kredibilitas dan terdaftar di Dewan
Pers, tentu tidak akan membuat konten atau berita-berita yang tidak
terverifikasi ataupun hoax.
Hal lain yang perlu diingat para pemeriksa fakta atau fact checker, saat
melakukan penelusuruan fakta harus menjelaskan secara jujur dan transparan
atas metode yang dipakai kepada pihak yang akan dilakukan pengecekan.
Pemeriksa fakta, juga harus memperhatikan etika pemeriksaan, yakni tidak
boleh, mengskplorasi lebih jauh atau membeberkan hal-hal yang sudah menyangkut
identitas pribadi atau di luar apa yang hendak diperiksa.
Sebut saja, menyebutkan identitas keluarga, tempat tinggal, pendidikan
anak-anaknya, hingga akun-akun pribadi.
Jadi, seorang fact checker tidak melakukan doxing atau menyebar informasi
pribadi terhadap narasumber atau subyek yang tengah diperiksa karena hal itu
bisa berdampak buruk terhadap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga.
Jangan sampai, karena identitas sumber itu dipublikasikan secara luas dan
detil justru akhirnya menjadi korban perundungan atau bullying di ranah dunia
maya seperti medsos.
“Hampir sama dengan tugas jurnalistik saat memeriksa, harus menghormati
hak-hak narsumber utama atau primer, tidak mencari-cari sumber-sumber lainnya
yang tidak terkait ” tutur editor media siber JUBI yang berpusat di Papua ini.
Pelatihan Cek Fakta merupakan kerja sama AMSI dan Google News Initiative (GNI)
ini diikuti 28 peserta baik dari jurnalis, editor, pemimpin redaksi dan
pengelola media siber di Bali berlangsung selama tiga hari 6-8 November 2020,
secara daring atau webinar dengan memanfaatkan google meet. (rhm)