ilustrasi |
Jakarta – Kondisi kinerja PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang
merugi Tahun 2020 jangan sampai mengorbankan kepentingan negara, masyarakat
konsumen yang memang membutuhkan subsidi.
Atas dasar kemampuan profesional dan manajerial itulah, maka evaluasi atas
kinerja PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dapat dinilai pada 2 (dua) aras
kebijakan, yaitu kebijakan strategis internal PGN, dan kebijakan pemerintah
soal harga industri dan subsidi.
Sebagaimana dipublikasi secara luas melaui media massa, pada Tahun Buku 2020,
PGN mengalami kerugian sejumlah Rp3,8 Triliun. Menurut penjelasan manajemen
nilai kerugian ini disebabkan oleh sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal
Pajak (Ditjen Pajak), Kementerian Keuangan.
“Apa benar logika kerugian yang diderita PGN Tahun 2020 ini adalah soal pajak,
lalu apakah soal pajak ini juga mengakibatkan kerugian pada periode-periode
sebelumnya?,” cetus Ekonom Konstitusi Defiyan Cori dalam keterangan tertulis
Jumat 16 April 2021.
Menurut catatan kinerja PGN, saat sengketa pajak mulai terjadi pada Tahun
2012, maka pada Tahun 2011 PGN yang berkode emiten PGAS ini mencatatkan
pendapatan usaha sejumlah Rp19,57 Triliun.
Jumlah tersebut memang turun sebesar 1,01% dibanding Tahun 2010 yang berjumlah
Rp19,77 Triliun. Sementara itu, laba operasi PGN mencapai Rp7,72 Triliun, atau
menurun sebesar 14,51% dari Tahun 2020 yang mencapai sejumlah Rp9,03 Triliun.
Dalam laporan keuangan yang disampaikan ke publik pada Hari Jumat 30 Maret
2012, ada pengaruh penurunan pendapatan atas menurunnya laba bersih PGAS.
Jika di akhir Tahun 2010, laba bersih perusahaan pelat merah ini tercatat
sejumlah Rp6,24 Triliun, maka pada akhir 2011 menurun sekitar 5,2% menjadi
Rp5,93 Triliun.
Perubahan kinerja PGN pada periode itu dipengaruhi oleh penurunan volume
penyaluran distribusi serta terjadinya peningkatan pada beban pokok dan beban
operasi.
Peningkatan beban pokok diakibatkan oleh kenaikan harga beli gas dari
perpanjangan kontrak dan kontrak gas baru.
Disampaikan Defiyan, selama 10 tahun (2011-2020) terakhir, kinerja PGN memang
mengalami pasang surut, sebagaimana halnya pergerakan saham perusahaan yang
telah dimiliki sebagian oleh publik di pasar bursa, yaitu Bursa Efek Indonesia
(BEI).
Pada Tahun 2012, laba PGN mengalami kenaikan sebesar 31 persen, yaitu sejumlah
US$ 891 Juta atau setara nilai Rp8,61 Triliun. Peningkatan laba tersebut juga
ditopang oleh peningkatan pendapatan perusahaan sebesar 16 persen pada Tahun
2012.
Menurut Dewan Manajemen PGN saat itu, kenaikan harga beli gas dari pemasok
mulai 1 September 2012 dan 1 April 2013 mempengaruhi kenaikan beban pokok
pendapatan yang mencapai hingga 43% tersebut.
Dan, untuk mengantisipasi kenaikan harga beli gas dari pemasok itu, PGN
melakukan penyesuaian harga jual gas kepada pelanggan.
Apabila membandingkan kinerja PGN saat menghadapi kinerja korporasi yang mulai
menurun melalui kebijakan kenaikan harga pelanggan pada akhir Tahun 2012 dan
awal Tahun 2013 dengan situasi dan kondisi yang dialami pada Tahun 2019, maka
menjadi masuk akal PGN masih membukukan laba bersih.
Sebaliknya, penolakan pemerintah melalui Kementerian ESDM terhadap usulan
kenaikan harga gas industri yang diajukan PGN saat itu kami perkirakan akan
berdampak kepada hilangnya potensi laba hingga mencapai Rp2,41 Triliun.
Dan, faktanya realisasi laba bersih yang dibukukan PGN Tahun 2019 hanya
sejumlah Rp1,08 Triliun dibandingkan dengan Tahun 2018 sejumlah Rp4,34
Triliun, atau terjadi penurunan sejumlah Rp3,26 Triliun.
Dijelaskan, capaian laba bersih PGN pada Tahun 2019 ini merupakan yang
terendah sejak Tahun 2014 dan ditengah gejolak harga minyak dunia serta
fluktuasi kurs Rupiah terhadap US dollar.
Perkembangan kinerja PGN ini terjadi saat neraca dagang sektor migas Indonesia
terus mengalami defisit dan tak ada terobosan alternatif dan kebijakan harga
yang proporsional sesuai kondisi permintaan dan penawaran produk migas saat
itu.
Dampak dari kebijakan penolakan penyesuaian harga gas itu, yaitu terdapat
penurunan laba bersih PGN secara drastis pada Triwulan III Tahun 2019, yaitu
US$129,1 juta atau setara Rp 1,81 Triliun dibanding periode yang sama Tahun
2018 sebesar US$ 244,3 juta atau setara Rp 3,42 Triliun.
Penurunan laba bersih PGN disebabkan oleh pendapatan usaha yang turun dan juga
nilai properti migas yang turun hingga US$ 44,18 juta, atau terjadi penurunan
sebesar 47 persen yang seharusnya bisa diatasi oleh Pemerintah atas usulan
jajaran Direksi PGN supaya eksistensi dan keberlanjutan PGN dapat terjaga dan
berkinerja baiik mengatasi defisit migas serta memberikan manfaat bagi
masyarakat, bangsa dan negara.
Sayangnya, lanjut Defiyan, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)
pada 30 Oktober 2019 justru menerbitkan kebijakan yang menunjukkan tindakan
inkonsisten atas upaya mengatasi dan memberikan solusi defisit migas yang saat
ini dihadap negara, yaitu menolak pengesahan kenaikan harga gas industri.
Walaupun Permen ESDM Nomor 58/2017 tentang Harga Jual Gas Melalui Pipa Pada
Kegiataan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi memberikan peluang untuk itu.
Padahal, komponen pembentuk harga gas di hulu sudah tinggi yaitu hampir 70%,
maka harga gas PGN di hilir otomatis harus disesuaikan.
Sementara biaya-biaya lain, seperti Biaya Pengelolaan Infrastruktur dan Biaya
Niaga hanya mencakup sebesar 30% dari struktur harga jual di hilir, tak
mungkin lagi dikurangi.
Pertanyaannya, kenapa Pemerintah melakukan kesalahan yang sama lagi dengan
menolak proposal PGN, sebagaimana halnya terjadi pada kasus BUMN PT. Semen
Indonesia Tbk (Persero), yaitu menghadapi kesulitan yang sama atas kebijakan
harga semen impor?.
“Seharusnya pemerintah dapat memayungi BUMN PGN yang juga merupakan sub
holding BUMN Migas Pertamina dengan kebijakan yang lebih akomodatif, yaitu
dengan harga dasar hulu gas yang ditetapkan batas atas dan batas bawahnya
sehingga tidak memberatkan Harga Pokok Penjualan (HPP) gas dari PGN,”
sambungnya.
Sebagaimana hal itu dilakukan oleh Kementerian ESDM pada produk batu bara
dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), meskipun produk batu bara
adalah energi yang tak bersahabat dengan lingkungan dibandingkan dengan gas.
Konsekuensi atas penolakan kenaikan harga gas pada Tahun 2019 tersebut, harus
bisa ditanggung oleh Pemerintah agar perbaikan kinerja PGN yang dihasilkan
oleh kebijakan pemerintah yang tak konsisten serta tidak bisa hanya ditimpakan
pada jajaran direksi dan komisaris, bahkan Menteri BUMN Erick Tohir juga harus
mempertanggungjawabkannya.
“Jangan sampai kondisi kinerja PGN yang merugi Tahun 2020, mengorbankan
kepentingan negara, masyarakat konsumen yang memang membutuhkan subsidi,
dengan lebih memperhatikan sekelompok pengusaha industri yang sebenarnya lebih
mampu melakukan efektifitas dan efisiensi pengelolaan perusahaannya melulai
pos-pos biaya yang lain.
“Apalagi kelompok pengusaha yang mengkonsumsi gas industri yang “merengek”
meminta fasilitas harga murah kepada Presiden itu, bukanlah kelompok
masyarakat miskin,” tutup Defiyan. (rhm)