![]() |
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori |
JAKARTA – Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengingatkan upaya politisasi atas kasus SKL BLBI justru akan merugikan kepentingan rakyat dan bangsa di masa depan di saat Indonesia berkesempatan menjadi negara yang patut diperhitungkan dalam kancah pergaulan internasional.
Diketahui, Ketua Umum PDI Perjuangan kembali dituding berbagai pihak sebagai dalang terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI pada sejumlah Obligor di saat krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sekitar tahun 1997-1998.
Dalam pandangan Defiyan, tuduhan pada mantan Presiden ini sangat aneh dan mengada, seolah-olah ada sebuah skema di luar masalah ekonomi dan soal SKL BLBI yang telah diputuskan melalui mandat politik dengan kontestasi pemilihan Presiden tahun 2014, soal manajemen pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Pemilu yang akan datang, Tahun 2019.
“Semua hal ini menjadikan bangsa dan negara kita selalu diaduk-aduk oleh kepentingan-kepentingan politik ansich masa lalu yang sudah selesai menjadi kebijakan, walau saat ini berdampak secara ekonomi dan keuangan negara,” terangnya, Sabtu (3/6/17) .
Surat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dijadikan dasar melimpahkan kesalahan pemberian SKL bagi Obligor BLBI hanya pada Presiden Megawati merupakan tuduhan secara pihak ini adalah sebuah upaya pembunuhan karakter (character assasination) yang sangat tidak manusiawi.
Perlu diketahui seluruh rakyat Indonesia dan para tokoh politik Indonesia, bahwa Inpres yang dikeluarkan Presiden Megawati dikala itu merupakan tindak lanjut dari keputusan dan ketetapan bersama para wakil rakyat yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement and Acquisition Agreement (MSAA); Master of Refinancing and Not Issuance Agreement (MRNIA).
Selain itu, Perjanjian PKPS dan Pengakuan Utang. Yang berarti, TAP MPR adalah keputusan politik bersama yang diambil oleh para wakil rakyat sebagai representasi keputusan rakyat Indonesia atas situasi dan kondisi ekonomi dan keuangan negara pada saat itu.
Inpres Megawati Soekarno Putri saat ini menjadi absah karena beliau adalah mandataris MPR yang harus menjalankan (eksekusi) semua hasil Ketetapan MPR yang telah diputuskan oleh wakil rakyat.
Lalu, jika ketetapan ini salah dan pada akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi dan keuangan negara saat ini, maka tidak serta merta melimpahkan secara total dan membabi buta pada Presiden Megawati Soekarno Puteri sendiri.
Apalagi Ketua MPR saat itu adalah Amien Rais yang saat ini diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) dengan terdakwa mantan Menteri Kesehatan di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
“Niat Amien Rais melakukan bongkar-bongkar kesalahan pengambilan politik masa lalu itu seperti menepuk air didulang, karena beliau adalah salah satu aktor yang memimpin pengambilan keputusan hasil musyawarah MPR soal kebijakan SKL BLBI ini,’ sambungnya.
Jika hal ini terus dilakukan dan terus dibiarkan tanpa ujung, maka kegaduhan politik akan terus berlangsung di Republik Indonesia yang kita merdekakan, bangun dan cintai bersama ini.
Secara ekonomi dan keuangan negara, TAP MPR yang ditindaklanjuti mandataris MPR kala itu Presiden Megawati Soekarno Puteri dengan menunjuk dan memerintahkan 7 (tujuh) pejabat negara terkait mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi PKPS dalam kasus BLBI memang terasa mengusik rasa keadilan rakyat yang tak bisa memperoleh kredit dalam jumlah yang besar dalam perbankan nasional.
Terlebih Surat Keterangan Lunas ini kata dia, lebih banyak disebabkan oleh faktor salah kelola (mismanagement) yang dilakukan oleh para banker dan obligor pemilik bank yang bersangkutan dan adanya praktek insider trading dari penyaluran kredit.
Hal ini berkebalikan dengan rakyat kecil (bukan elite dan tokoh politik dan ekonomi) yang memiliki utang piutang dengan perbankan nasional, jika kredit macet mereka justru dikejar-kejar oleh pemungut utang (debt collector) dan harta mereka bisa disita bank dan hilang sehingga kesempatan atau modal berusaha mencari nafkah pun menjadi hilang.
“Maka, solusi atas masalah SKL BLBI ini diharapkan tidak menjadi kegaduhan baru dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebaiknya kebijakan pemihakan (affirmative policy) atau pro rakyat harus secara sungguh diciptakan dalam kebijakan ekonomi nasional,” sarannya..
Politisasi atas kasus SKL BLBI justru akan merugikan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia di masa depan disaat kita punya kesempatan menjadi negara yang patut diperhitungkan dalam kancah pergaulan internasional.
Berlaku adil dalam konteks SKL BLBI tentu lebih baik dan bijaksana daripada membongkar-bongkar kesalahan politik masa lalu.
Tentu saja penyelewengan teknis atas SKL BLBI yang dilakukan oleh pejabat pada 7 (tujuh) kementerian dan lembaga negara atas Inpres No. 8 Tahun 2002 ini harus tetap diproses, yaitu mantan Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, para mantan Menteri Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala atau Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Menurutnya, kasus SKL BLBI ini sangat berbeda dengan kasus penyelamatan (bailout) Bank Century yang menghabiskan anggaran negara 6,7 Trilyun. “Mari kita bangun dan selamatkan ekonomi Indonesia tanpa politisasi kebijakan SKL BLBI yang akan menghabiskan energi bangsa ke arah yang lebih baik,” demikian Defiyan. (rhm)