Refleksi Pers 2025: Di Balik Bayang-Bayang Kekerasan dan Taruhan Jurnalisme Berkualitas

dunia pers nasional justru menghadapi "badai" lain: mulai dari perampasan alat kerja, teror fisik, hingga ancaman kebangkrutan ekonomi media.

31 Desember 2025, 19:14 WIB

Jakarta – Tahun 2025 menjadi saksi bisu betapa mahalnya harga sebuah kebenaran di Indonesia. Di tengah hantaman bencana alam yang memilukan di Sumatera, dunia pers nasional justru menghadapi “badai” lain: mulai dari perampasan alat kerja, teror fisik, hingga ancaman kebangkrutan ekonomi media.

Dalam laporan akhir tahunnya pada Selasa (30/12/2025), Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan bahwa kemerdekaan pers Indonesia masih tertahan di kategori “Cukup Bebas” dengan skor Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 69,44.

Tragedi di Tengah Bencana: Pers yang Dibungkam
Saat duka menyelimuti Aceh dan Sumatera Utara akibat badai siklon Senyar yang merenggut 1.135 nyawa, jurnalis yang bertugas justru mendapat tekanan.

Dewan Pers mencatat insiden memilukan pada 11 Desember 2025, di mana rekaman wartawan Kompas TV dirampas oleh oknum aparat saat meliput ketegangan bantuan asing.

Tak hanya itu, tekanan psikologis membuat media sebesar CNN Indonesia terpaksa menghapus konten siarannya sendiri karena kekhawatiran disalahgunakan, setelah menayangkan realitas warga yang belum tersentuh bantuan.

“Tindakan perampasan alat kerja dan tekanan terhadap media adalah pelanggaran nyata terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999. Ini menciptakan efek gentar yang mendorong swa-sensor,” tegas Komaruddin Hidayat.

Kekerasan Fisik dan “Amunisi” Hukum

Sepanjang 2025, wajah pers kita diwarnai memar dan intimidasi:

Teror Tak Manusiawi: Pengiriman kepala babi dan tikus terpotong kepada wartawan Tempo.

Kekerasan Fisik: Pengeroyokan jurnalis di Banten dan pemukulan fotografer Antara di Jakarta.

Gugatan Fantastis: Gugatan perdata Rp200 miliar dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo.

Untuk membentengi jurnalis, Dewan Pers telah mengerahkan 118 ahli pers guna mengawal 86 kasus UU ITE dan 17 kasus UU Pers. Langkah progresif juga diambil dengan meluncurkan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers pada 24 Juni 2025 untuk menjamin keamanan kerja para pembawa berita.

Profesionalisme di Persimpangan Digital

Meski teknologi berkembang, profesionalisme jurnalisme siber justru menunjukkan lampu kuning. Pengaduan publik melonjak tajam menjadi 1.166 laporan, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Isu utamanya adalah penyakit lama di era digital:

Judul clickbait yang menipu.
Berita sepihak tanpa cover both sides.

Pelanggaran privasi dan penggunaan AI yang tidak terkontrol.

Merespons hal ini, Dewan Pers resmi merilis Peraturan Nomor 1 Tahun 2025 tentang pedoman penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) agar teknologi tidak menggerus etika jurnalistik.

Efisiensi dan Napas Ekonomi yang Tersengal

Di balik layar redaksi, kondisi ekonomi media kian kritis. Disrupsi digital dan perubahan algoritma platform global mengakibatkan lebih dari 800 pekerja media terkena PHK sejak 2024 hingga pertengahan 2025.
Sebagai solusi jangka panjang,

Dewan Pers tengah memperjuangkan:

Dana Jurnalisme Indonesia: Untuk menyokong media independen.

Revisi UU Hak Cipta: Agar karya jurnalistik memiliki nilai ekonomi (royalitas), bukan sekadar hak moral.

E-Katalog INAPROC: Pelatihan bagi 246 perusahaan pers agar bisa bersaing dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Menatap 2026: Tiga Tantangan Besar
Menutup laporannya, Dewan Pers menitipkan pesan  tahun 2026 tidak akan lebih mudah.

Berlakunya KUHP baru dengan pasal-pasal pemidanaan serta ketidakpastian ekonomi global menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan solidaritas.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap integritas, Anugerah Dewan Pers 2025 diberikan kepada H.M. Jusuf Kalla (Tokoh Perdamaian), mendiang Jakob Oetama (Tokoh Pers), dan Muhammad Rifky Juliana (Wartawan Tangguh).

Kemerdekaan pers bukan hanya milik wartawan, tapi hak publik untuk tahu. Mari kita jaga bersama.***

Berita Lainnya

Terkini