![]() |
(ilustrasi/net) |
JAYAPURA – Sepanjang tahun 2016 tercatat sedikitntya 10 jurnalis yang tengah melakukan tugas di Papua dan Papua Barat mengalami berbagai tindak kekerasan sehingga kondisi itu menunjukkan bahwa implementasi kebebasan pers masih minim.
Karenanya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura menilai implementasi kebebasan pers bagi para jurnalis yang bertugas di Papua dan Papua Barat masih minim sepanjang tahun 2016. Data pelaporan diterima Divisi Advokasi AJI Jayapura, terdapat 10 kasus yang menghambat kebebasan jurnalis dalam upayanya menyampaikan informasi yang terpercaya dan berimbang bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.
Adapun kasus-kasus tersebut meliputi intervensi ketika wartawan melaksanakan peliputan, penghapusan foto dan video terkait liputan isu-isu sensitif seperti gerakan Papua merdeka, pengerusakan sarana untuk peliputan, pemukulan terkait peliputan kasus di persidangan, pelaporan ke pihak berwajib atas materi peliputan, pemukulan, dan pengusiran wartawan yang hendak mengonfirmasi isu tertentu kepada narasumber.
“Tercatat sebanyak 10 wartawan yang mendapatkan tindakan dalam kasus-kasus ini terjadi Timika, Wamena, Kota Jayapura, Nabire, Dogiyai, Manokwari, dan Sorong,” sebut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jayapura Fabio Maria Lopes Costa dalam siaran persnya, Jum’at (27/1/2017).
.
Kasus pelanggaran kebebasan pers terbanyak berada di Kota Jayapura yakni tiga kasus, sedangkan di Wamena sebanyak dua kasus. Sementara pelanggaran kebebasan pers di lima daerah lainnya hanya satu kasus.
Berdasar laporan 10 jurnalis tersebut, tujuh kasus pelanggaran kebebasan pers terkait dengan aparat keamanan, dua kasus dengan pihak keamanan, dan satu kasus dengan anggota DPRD. Kesimpulannya, pelanggaran kebebasan pers di Papua teryata dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam tiga pilar demokrasi, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Kata Fabio, seolah-olah peranan awak pers dianggap masih rendah, perlu “didiamkan”, dan diawasi secara ketat oleh oknum-oknum tertentu. Padahal, pers secara tidak langsung adalah pilar keempat dari demokrasi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah hadir di Indonesia untuk menjamin kebebasan pers bagi para kuli tinta. Sayangnya, amanah yang mulia dari regulasi ini belum terealisasi secara menyeluruh ke seluruh wilayah khususnya di tanah Papua.
Pada tahun ini AJI Jayapura tak henti akan terus berjuang untuk mensosialisasikan kebebasan pers di Papua dan Papua Barat. “Ada baiknya Dewan Pers juga secara aktif memberikan pemahaman tentang materi kebebasan pers yang komprehensif bagi pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif khususnya di Papua,” sambungnya.
Menjelang pelaksanaan Pilkada di Papua dan Papua Barat, kami pun berharap para wartawan mengutamakan keberimbangan dalam penyampaian informasi kepada para warga yang menjadi simpatisan dari kandidat kepala daerah.
Hindari pemberitaan yang bersifat provokasi dan cenderung menjatuhkan kandidat tertentu. Pemberitaan dengan modus tersebut dapat menjadi salah satu pemicu konflik dalam Pilkada. Masyarakat akan dirugikan dengan kondisi tersebut dan awak media cenderung hanya mementingkan berita yang bersifat bombastis.
Upaya pembangunan di Papua juga turut terganggu karena tidak kondusifnya situasi keamanan. Utamakanlah penyampaian informasi sebagai penyejuk di tengah konstelasi politik yang meningkat karena persaingan para kandidat untuk meraih kursi kepala daerah. (rhm)