Suara Mayoritas ‘Diredam’: Demokrasi di Pemilihan Rektor UPI Dipertanyakan!

Anggota SA UPI Elly Malihah menuntut revisi terhadap Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025 dan mendesak agar pasal tersebut secara eksplisit mengatur bahwa Menteri memiliki 35 persen hak suara di setiap tahapan pemilihan rektor.

25 April 2025, 20:18 WIB

Bandung – Sejumlah anggota Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyoroti potensi ketidaksesuaian hukum dalam Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) UPI Nomor 1 Tahun 2025 terkait Pemilihan Rektor.

Perhatian utama tertuju pada Pasal 17 peraturan tersebut, yang menetapkan bahwa setiap anggota MWA memiliki satu suara dalam pemilihan rektor. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2014 tentang Statuta UPI.

Merujuk pada Pasal 20 Ayat (4) Statuta UPI, alokasi hak suara dalam pemilihan dan pemberhentian Rektor secara jelas membagi kekuasaan suara, di mana anggota MWA dari unsur Menteri memiliki 35 persen hak suara, sementara anggota lainnya secara kolektif memiliki 65 persen hak suara.

Anggota SA UPI, Elly Malihah, menegaskan bahwa ketentuan pembagian suara ini seharusnya berlaku secara konsisten di seluruh tahapan proses pemilihan rektor, yang meliputi penjaringan, penyaringan, hingga pemilihan akhir.

Elly Malihah, seorang guru besar bidang Sosiologi Pendidikan, secara tegas menyatakan bahwa Pasal 17 Peraturan MWA tersebut berpotensi mengurangi secara signifikan hak suara Menteri, dari proporsi seharusnya 35 persen menjadi hanya satu suara.

Ia menggarisbawahi bahwa tindakan ini dapat diinterpretasikan sebagai pengabaian atau pereduksian suara pemerintah, yang notabene merupakan pemegang saham utama UPI sebagai institusi perguruan tinggi negeri.

Lebih lanjut, Elly Malihah menjelaskan bahwa kedudukan Menteri dalam MWA memiliki kekhususan tersendiri. Berdasarkan Pasal 19 Ayat (3) Statuta UPI, Menteri memiliki peran sentral sebagai penentu akhir dalam penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul dan tidak dapat diselesaikan oleh MWA.

Menyikapi kondisi ini, anggota SA UPI menuntut adanya revisi terhadap Pasal 17 Peraturan MWA Nomor 1/2025. Mereka mendesak agar pasal tersebut secara eksplisit mengatur bahwa Menteri memiliki 35 persen hak suara di setiap tahapan pemilihan rektor.

Elly Malihah memperingatkan bahwa tanpa adanya perubahan, slogan UPI “values for value, full commitment, no conspiracy” berisiko menjadi sekadar retorika tanpa substansi. Lebih jauh, ia menilai bahwa Pasal 17 yang tidak direvisi berpotensi mengandung cacat hukum yang dapat mengganggu kelancaran proses penetapan rektor.

Di sisi lain, upaya untuk mengurangi representasi suara pemerintah dalam pemilihan rektor dikhawatirkan akan menciptakan preseden yang kurang baik dalam tata kelola pendidikan tinggi.

Tindakan ini berpotensi menimbulkan kesan bahwa UPI mengambil jarak atau bahkan berkonfrontasi dengan pemerintah, padahal seharusnya perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan visi dan misi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Elly Malihah mencontohkan kasus serupa yang terjadi di perguruan tinggi lain, seperti Universitas Sebelas Maret (UNS), di mana hasil pemilihan rektor dibatalkan oleh kementerian terkait karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip pemilihan yang jujur, transparan, dan demokratis.

Ia menekankan bahwa keluarga besar UPI tentu tidak ingin mengalami nasib serupa hanya karena kepentingan segelintir pihak. Dengan demikian, tuntutan untuk merevisi Pasal 17 Peraturan MWA bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga menyangkut citra dan masa depan UPI sebagai institusi pendidikan tinggi negeri yang kredibel dan selaras dengan kebijakan pemerintah. ***

Berita Lainnya

Terkini