Tuding “RUU Mata Air” Pertembakauan, Puskindo Ragukan Independensi ICW

28 Juni 2016, 04:30 WIB

Kabarnusa.com-  Kecurigaan
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption
Watch (ICW), Emerson Yuntho, terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pertembakauan oleh DPR sebagai ‘’RUU Mata Air’’, mendapatkan reaksi
Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK).

Zamhuri, peneliti Puskindo UMK, mengatakan, terkait permasalahan pertembakauan, ICW perlu diragukan independensinya.

‘’ICW pernah menerima dana dari Bloombeng Initiative dalam upaya kampanye pengendalian tembakau di Indonesia,’’ katanya.

Berdasarkan
data Antara News (29/6/2012), ICW menerima dana asing dari Bloomberg
Initiative sebesar 45.470 dolar AS atau setara Rp. 409.230.000. Dana itu
dikucurkan untuk program periode Juli 2010 hingga Maret 2012 terkait
masalah tembakau.

Melihat rekam jejak ICW yang pernah menerima
dana dari Bloombeng Initiative, maka perlu diragukan independensinya
dari pengaruh asing, terutama pemberi sumbangan.

“Dan tentu
saja, hal itu memperngaruhi juga framing dalam melihat permasalahan
pertembakauan, tak terkecuali di proses pembahasan RUU Pertembakauan
ini,’’ tuturnya.

Terkait persoalan pertembakauan, lanjut Zamhuri,
justru sangat menarik arahan yang disampaikan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) kepada menterinya belum lama ini, yang berpesan agar
kepentingan nasional lebih dikedepankan.

Presiden menekankan kepada para menterinya dalam menyikapi FCTC, harus mengedepankan kepentingan nasional.

“Terlebih,
sektor pertembakauan merupakan salah satu sumber pendapatan nasional
strategis, yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara dan
menopang perekonomian rakyat. Tahun 2015 saja, sumbangan dari cukai
mencapai Rp. 139,1 Triliun, belum termasuk pajak dan retribusi
lainnya,’’ tegasnya.

Selain itu, Kepala Negara mengingatkan
pentingnya mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau. Industri
pertembakauan di Indonesia tidak kurang dari 5,98 juta pekerja, terdiri
atas 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, dan 1,7 juta
pekerja di sektor perkebunan.

Dari 1,7 juta pekerja, sekitar
528.000 petani adalah tembakau, sekitar 1 juta petani cengkih dan
sekitar 115.000 pekerja pendukung industri pengeringan dan pengolahan
tembakau. (Sumber: BPS, Ditjen Perkebunan, diolah Puskindo).

’Besarnya
jumlah rakyat yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor tembakau
bisa lebih besar jika kita melihat dampak multiplier effect dari
keberadaan produk-produk tembakau.

“Seperti usaha di bidang
kertas, percetakan, advertising, jasa transportasi, hingga bergeraknya
pasar tradisional dan modern dan lain sebagainya,’’ ungkapnya.

Yang menarik lagi, Presiden Jokowi tidak ingin sekadar ikut-ikutan tren negara-negara lain.

Sikap
ini merupakan kearifan dari seorang Presiden, yang tentunya berangkat
dari pemahaman akan kondisi obyektif yang ada di tanah air.

‘’Pernyataan
Presiden ini sejalan dengan RUU Pertembakauan yang saat ini dibahas
DPR. Jika ada yang menolak RUU pertembakauan, berarti setuju agar
masalah kedaulatan bangsa dalam mengatur pertembakauan diatur oleh
bangsa lain melalui regulasi di tingkat global,’’ tegasnya lagi.

Dengan
menolak RUU pertembakaun, berarti menolak adanya kepentingan nasional
yang menyangkut jutaan hajat hidup orang banyak diatur dengan UU.

‘’Keberadaan
UU ini merupakan hasil kompromi dari semua komponen masyarakat, tidak
bisa satu kelompok memaksakan kepentingannya agar suatu UU menguntungkan
mereka tanpa melihat kepentingan kelompok masyarakat lain,’’ urainya. (wan)

Berita Lainnya

Terkini