Wacana Revisi HPN, Begini Pandangan Prof Bagir Manan

12 Februari 2018, 11:47 WIB
Bagir%2BManan 1
Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bagir Manan/dok.kabarnusa

JAKARTA – Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Prof.DR. Bagir Manan mengungkapkan pandangannya untuk mengakhiri perdebatan kapan dan bagaimana pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) agar dibicarakan kembali bersama stakeholder pers bersama pemerintah.

“Hak pelaksanaannya serahkan ke Dewan Pers saja,” kata Bagir usai pulang dari Padang untuk menghadiri HPN. Alasannya kata Bagir agar lebih netra, dan Dewan Pers itu milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia.

“Bahwa panitia pelaksana nantinya bukan unsur Dewan Pers, tapi oleh salah satu ketua atau pengurus dari organisasi lain tidak masalah, yang penting kepanitiaan dikoordinasi Dewan Pers,” ujar mantan Ketua Dewan Pers ini dalam rilis diterima Kabarnusa.com, Senin (12/2/2018).

Diketahui, AJI dan IJTI mendesak agar pelaksanaan HPN direvisi. Terutama menyangkut soal tanggal, dimana 9 Februari sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Pasca Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.

Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.

Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999. Tapi HPN tetap 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisa wartawan bukan cuma PWI. Bagir menilai bahwa gejolak ingin keluar dari kungkungan PWI itu masuk akal karena saat ini organisasi wartawan tidak tunggal.

Ia bisa memahami gejolak penggantian tanggal itu dipicu Ketua PWI Margiono yang tidak memiliki etika yang kuat karena terjun ke politik praktis sebagai calon bupati Tulungagung tapi masih menjabat ketua PWI, ini mencederai etika independensi wartawan dan menjatuhkan kredibilitasnya.

Sejatinya, pertemuan di Solo pada 1949 itu bukan cuma membahas soal PWI, tapi itu kali pertama membahas tentang pera perjuangan. Hanya kebetulan saja bareng acara PWI, tapi justru ajang pembahasan penting untuk tonggak perjalanan dunia kewartawanan berikutnya.

Bagir tidak bisa menyepakati mana yang lebih pas apakah Februari atau November pelaksanaan yang sesuai. Masing-masing memiliki alasan dan landasan yang bisa diperdebatkan. “Kalau paling gampang kapan tonggak pers, tapi tidak ketemu titiknya, bagaimana kalau HPN disamakan dengan sejak Republik ini berdiri saja, 17 Agustus,” selorohnya,

Hal itu dilakukan sebagai solusi, biar tidak ada tak ada yang merasa atau mengklaim paling benar.

Yang pasti, Bagir setuju ada pembahasan soal HPN dan menyarankan permasalahannya disampaikan ke pemerintah agar dibahas bersama. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini