Jakarta – Kasus kematian Brigadir RA, polisi yang ditemukan dengan luka tembak di kepala, menjadi misteri. Brigadir RA ditemukan tewas di dalam mobil Alphard di sebuah rumah di Jalan Mampang Prapatan IV, Jakarta Selatan.
Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto menyarankan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo evaluasi anggota Polri yang di BKO kan (bawah kendali operasi) sebagai ajudan maupun pengawal pribadi (Walpri) bagi badan lembaga maupun perseorangan di luar Polri maupun pemerintahan menyusul peristiwa tewasnya anggota Lantas Polresta Manado Brigadir RA yang ditemukan tewas di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (25/4).
“BKO anggota Polri yang melekat sebagai ajudan maupun Walpri ini berpotensi adanya konflik kepentingan antara tugas resmi sebagai anggota Polri dan kepentingan pribadi maupun bisnis pengusaha yang dijadikan ajudan”, katanya.
Ia pun mengungkapkan bahwa penugasan sebagai ajudan/walpri pengusaha bisa mengalihkan fokus anggota Polri dari tugas pokok keamanan dan penegakan hukum.
“Sehingga ini tentunya memiliki risiko mengenai kredibilitas anggota Polri jika terlihat terlibat secara terlalu dekat dengan individu atau perusahaan tertentu”, katanya.
Menurut Rasminto yang juga akademisi Unisma menjelaskan risiko lainnya dapat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis anggota.
“Penugasan di lingkungan luar Polri apalagi dalam lingkungan bisnis bisa menimbulkan tekanan psikologis bagi anggota Polri, terutama jika terlibat dalam aktivitas yang bertentangan dengan kode etik atau hukum dan risiko yang paling nyata adalah terjadinya kasus bunuh diri Brigadir RA ini yang barangkali berpengaruh pada beban psikologis anggota tersebut”, jelasnya.
Ia menegaskan BKO Polri ini dapat menimbulkan pengaruh eksternal di institusi Polri.
“Jika memang ada anggota Polri di BKO sebagai ajudan ataupun Walpri seorang pengusaha, ini akan berimplikasi adanya potensi kemungkinan bahwa pengusaha tersebut mencoba memanfaatkan hubungan dengan anggota Polri untuk keuntungan pribadi atau bisnisnya”, tegasnya.
Lanjutnya, publik tentunya akan dapat menilai BKO anggota Polri terkait kesesuaian hukum.
“Penugasan sebagai ajudan maupun Walpri pengusaha harus memperhatikan aturan hukum terkait dengan penggunaan sumber daya Polri untuk kepentingan pribadi atau bisnis”,
Rasminto berharap Kapolri Listyo Sigit Prabowo segera evaluasi persoalan ini dengan bijak.
“Publik berharap, Jenderal Sigit dapat evaluasi persoalan ini, sehingga citra Polri dapat terjaga positif”, harapnya.
Baginya, evaluasi risiko dari Kapolri sebagai bentuk penegakan hukum.
“Sebab, dalam menjalankan penugasan BKO ini, penting bagi anggota Polri dan pimpinan untuk melakukan evaluasi risiko secara cermat dan memastikan bahwa tindakan yang diambil sesuai dengan aturan dan prinsip moral serta hukum yang berlaku”, tutupnya.
Lantas seperti apa aturan mengenai penugasan sebagai ajudan atau personel pengawalan?
Aturan seperti itu tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 8 Ayat 1 Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 itu diatur soal penugasan sebagai ajudan dan personel pengaman dan pengawalan diberikan kepada;
(1) Penugasan sebagai ajudan atau personel pengamanan dan pengawalan Pejabat Negara dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf e dan huruf f diberikan kepada:
a. Pejabat Negara Republik Indonesia Republik Indonesia;
b. Pejabat negara asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Mantan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
d. Suami atau istri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
e. Kepala badan/lembaga/komisi;
f. Calon Presiden dan calon Wakil Presiden Republik Indonesia; atau
g. Pejabat lainnya atas persetujuan Kapolri.
(2) Pejabat Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
b. Ketua/Wakil Ketua MPR;
c. Ketua/Wakil Ketua DPR dan DPD;
d. Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Agung;
e. Hakim Agung;
f. Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua/Wakil Ketua Komisi Yudisial;
h. Ketua/Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
i. Menteri atau pejabat setingkat Menteri;
j. Gubernur/Wakil Gubernur; dan
k. Bupati atau Wali kota.
(3) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah paling banyak:
a. 2 (dua) personel untuk setiap pejabat, bagi penugasan sebagai ajudan; dan
b. 6 (enam) personel untuk setiap pejabat, bagi penugasan sebagai personel pengamanan dan pengawalan.
(4) Penugasan sebagai ajudan dan/atau pengamanan/ pengawalan dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.***