Kabarnusa.com – Peradaban masyarakat Bali di sekitar kawasan daerah aliran sungai (DAS Pakerisan, berikut tantangannya di masa kini juga refleksinya untuk masa depan menarik untuk terus didiskuikan.
Diskusi digelar Bentara Budaya Bali dalam program Bali Tempo Doeloe, kini memasuki seri yang ke-14.
Dialog bertajuk Jejak Das Pakerisan dalam Arkeologi dan Seni, diselenggarakan pada Jumat (18/3/2016) di Ketewel, Gianyar.
Bali Tempo Doeloe #14 akan mendialogkan lebih mendalam dengan narasumber hadir Drs. I Gusti Made Suarbhawa (Peneliti, Kepala Balai Arkeologi Denpasar) dan I Made Susanta Dwitanaya (Kurator & Penulis Seni Rupa).
Terdapat dua fokus telaah atau pembacaan atas jejak DAS Pakerisan yang menaungi hingga Petanu, Tampaksiring, Pejeng, dan Bedulu ini.
Yang pertama adalah dari sisi arkeologi lanskap. Menurut Suarbhawa, merupakan suatu cakupan lingkungan fisik dan budaya yang dapat mencerminkan suasana kehidupan manusia dalam suatu zaman tertentu. Sementara yang kedua yaitu perspektif seni.
“Selain diskusi, acara juga dimaknai pemutaran film dokumenter berdurasi 45 menit bertajuk ‘Peradaban Bali Kuna di DAS Pakerisan’ produksi Balai Arkeologi Denpasar tahun 2010,” ungkap Juwitta Lasut, pegiat BBB dalam keterangan tertulisnya diterima Kabarnusa.com, Rabu (16/3/2016).
Inventarisasi tinggalan arkeologis di sekitar DAS Pakerisan dan Petanu, Kabupaten Gianyar telah dilakukan sejak tahun 1921 oleh seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim.
Sejumlah candi tebing berjejer menghiasi berbagai dinding sepanjang aliran sungai tersebut, semisal: Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku.
Hasil ini, dilaporkan dalam majalah Oudheidkundig Verslag tahun 1925 dan 1927.
Banyaknya tinggalan arkeologi di wilayah DAS Pakerisan ini, mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali yang menganut Agama Hindu.
Mulanya sering disebut sebagai ‘Agama Tirtha’ – dimana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual keagamaan.
Fungsi candi pada landskap di daerah aliran sungai terbukti tidak semata sebagai tempat pemujaan, melainkan bagian dari kearifan masyarakat masa lampau dalam menyikapi kesucian sungai sekaligus kelestariannya.
Peninggalan-peninggalan kerajaan Bali Kuno atau kerajaan Bali Pra-Majapahit, menggambarkan pula capaian seni rupa Bali masa itu.
Jejak seni rupa tersebut dapat ditemukan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Petanu, Tampaksiring, Pejeng, hingga Bedulu.
Aspek kesenian tersebut meliputi: seni pahat batu paras berupa ukiran ornamen, relief, dan patung (arca).
Hadirnya kesenian yang berkualitas itu, tak lepas dari adanya keprofesian tertentu yang tugasnya terkait dengan penciptaan karya seni demi kepentingan kerajaan juga religi.
Maka mengemuka pula istilah sebagai berikut: undagi (arsitek-tradisional), pande pembuat peralatan dari logam), dan sangging (pelukis wayang, pengukir yang berhubungan dengan upacara). (gek)