Ekspor Tepung Porang Melesat, Regulasi Pemerintah Jangan Hanya Untungkan Investor

1 Agustus 2021, 06:22 WIB
59501 tanaman porang
Ilustrasi pohon umi porang/Dok. Humas Kementan

Jakarta – Seiring semakin meningkatnya ekpor tepung porang lima tahun
terakhir pemerintah diminta menyiapkan regulasi atau penatakelolaannya jangan
hanya untungkan orang per orang atau kepentingan investor.

Berdasar data disampikan Wakil Menteri Perdagangan. Jerry Sambuaga, ekspor
porang selalu meningkat dalam lima tahun terakhir. Tercatat, kenaikan ekspor
sejak 2016-2020 sebesar 40,19 persen dengan pangsa terbesar adalah RRC, yaitu
sebesar 67 persen.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori melihat, jika mengacu aspek kemudahan menanam
dan potensi porang sebagai komoditas bernilai ekonomis yang menjadi primadona
petani kekinian, maka penatakelolaan industrinya mendesak dilakukan oleh
Pemerintah.

Baca Juga:
ISEI Diharapkan Percepat Implementasi Kebijakan Reformasi Struktural
Menuju Indonesia Maju

“Jangan sampai terjadi lagi, potensi dan manfaat atau nilai ekonomi komoditas
ekspor ini pengelolaannya menyimpang dari konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD
1945 dan hanya menguntungkan orang per orang,” tegas dia dalam keterangan
tertulis diterima Kabarnusa.com, Minggu (1/8/2021).

Diibaratkan, mutiara terpendam di dasar lautan, tanaman porang kemudian muncul
menjadi magnet dan primadona para petani dan tentu saja pengusaha. Porang kini
tengah banyak dicari kejar (headhunter) oleh berbagai pihak karena nilai
ekonomisnya.

Padahal, porang dulunya dianggap tanaman yang tumbuh liar di pekarangan,
bahkan di beberapa daerah dianggap sebagai makanan ular (porang tanaman).

Baca Juga:
KPPU Ungkap Kelangkaan Pasokan Obat dan Tabung Oksigen di Sumbagsel Jawa
dan Bali

Sejak awal Tahun 2021 banyak pihak yang tertarik menjadikan porang sebagai
komoditas perdagangan internasional dan potensi ekspor porang memberikan
devisa baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Defiyan mengingatkan, sebelum terlambat pemerintah harus segera mengatur
potensi dan kemanfataan budi daya tanaman porang ini melalui pengelolaan
industri pertanian dengan nilai tambah ekonomi (added value) yang tinggi untuk
kemakmuran orang banyak.

“Bukan orang per orang,” tegas alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Porang telah menjadi primadona ekspor, dan hal ini harus menjadi perhatian
serius (concern) Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian melalui
Direktorat Tanaman Pangan dan Hortikultura, jangan sampai menjadi layu sebelum
berkembang.

Sebab, banyak manfaat tanaman porang sebagai bahan baku berbagai produk,
diantaranya tepung, kosmetik, penjernih air, juga untuk pembuatan lem dan
jelly yang beberapa tahun terakhir frekuensi dan nilai yang diekspor ke luar
negeri, seperti ke Jepang dan China semakin meningkat.

“Yang terpenting jangan sampai terjadi perdagangan terselebung (insider
trading) bagi para pejabat, terutama menteri-menteri yang saat banyak berasal
dari kalangan pengusaha,” Defiyan mengingatkan.

Tanaman porang saat ini telah mulai banyak ditanam oleh para petani di
sejumlah daerah seiring dengan meningkatnya permintaan ekspor produk
umbinya.

Baca Juga:
BAF Larang Eksekusi Kendaraan Tanpa Surat Kuasa

Pohon porang adalah tanaman umbi-umbian dengan nama latin Amorphophallus
muelleri. Di beberapa daerah di Jawa, tanaman porang dikenal dengan nama
iles-iles.

Budidaya porang juga dapat dilakukan dengab mudah dan murah karena tidak
memerlukan perlakukan khusus yang rumit. Pohon porang mudah tumbuh dalam
berbagai kondisi tanah, bahkan di lahan kritis sekalipun.

“Secara ekonomi, harga porang di pasaran ekspor juga terus mengalami
peningkatan signifikan,” imbuhnya.

Pertanian tanaman porong terbesar saat ini contohnya di Madiun, Provinsi Jawa
Timur banyak dibudidayakan petani setempat, karena harga porang relatif lebih
menjanjikan dibandingkan tanaman budidaya lain.

Harga porang iris kering terus melonjak dari tahun ke tahun sehingga
menjadikan banyak para petani yang banting setir menjadi penanam porang. Harga
umbi porang basah pada Tahun 2018 berkisar antara Rp4.000 hingga Rp15.000 per
kilogram.

Ketika sudah dikeringkan atau menjadi chip, maka harganya berkisar Rp55.000
hingga Rp65.000 per kilogram.

Bahkan, harganya bisa melonjak menjadi di atas Rp 100.000 per kg setelah
diolah lebih lanjut seperti diolah menjadi tepung glukomannan karena adanya
permintaan negara tujuan ekspornya antara lain Jepang, China, Australia, dan
Vietnam.

Badan Karantina Kementerian Pertanian telah mencatat, pada Tahun 2018 ekspor
tepung porang ini mencapai 254 ton dengan nilai sejumlah Rp11,31 Miliar.

Sejumlah sentra budidaya porang dan pengolahan umbi porang menjadi tepung saat
ini tersebar di beberapa daerah, seperti Bandung, Maros, Wonogiri, Madiun, dan
Pasuruan. (rhm)

Artikel Lainnya

Terkini