KPPU Ungkap Kelangkaan Pasokan Obat dan Tabung Oksigen di Sumbagsel Jawa dan Bali

30 Juli 2021, 23:48 WIB
KPPU%2Bwebiner
Webiner dalam Forum Jurnalis dihelat KPPU, Jumat (30/7/2021)/Dok. KPPU

Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam penelitian dan
pemantauan di lapangan menemukan masih terjadinya kelangkaan pasokan obat
terapi Covid-19 dan tabung oksigen di wilayah Sumatra Bagian Selatan Pulau
Jawa hingga Bali.

Hasil pemantauan sementara KPPU itu terungkap dalam webiner dalam forum
jurnalis dihelat KPPU, mengangkat topik’ Pandangan KPPU atas Pasokan
Obat-obatan Covid-19, Jumat (30/7/2021).

Dari temuan itu menunjukkan banyaknya obat dijual melebihi Harga Eceran
Tertinggi (HET) yang diatur oleh Pemerintah.

Juga terjadi kelangkaan pasokan obat dan tabung oksigen di hampir semua
wilayah terutama di Sumatera Bagian Selatan, Jawa dan Bali,” ungkap Komisioner
KPPU Ukay Karyadi.

Baca Juga:
OJK Minta Perusahaan Pembiayaan Evaluasi Kebijakan Kerja Sama dengan
‘Debt Collector’

Pihaknya telah melakukan pemantauan terhadap harga dan pasokan dari
obat-obatan yang esensial terhadap Covid-19.

Pemantauan dilakukan sejak diberlakukannya masa PPKM awal Juli lalu, dan
merupakan salah satu bentuk dukungan KPPU bagi Pemerintah yang telah
menetapkan kebijakan pembatasan harga obat penanganan Covid-19 melalui
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.O 1.07lMENKES/4826/2021 tentang Harga
Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
agar pelaksanaannya di lapangan dapat berjalan dengan baik.

Ukay Karyadi menambahkan, penetapan HET diperlukan dalam kondisi terjadi
excess demand dan pasokan relatif terbatas, apalagi untuk produk yang esensial
atau sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Kelangkaan juga terjadi di wilayah Kalimantan dan Sulawesi sampai wilayah
Indonesia Timur karena hambatan pasokan dari sentra farmasi dan industri
oksigen di Jawa dan sekitarnya.

Informasi diperoleh KPPU di lapangan, khususnya beberapa daerah di Kalimantan
dan Jawa Tengah, pengaturan HET banyak dikeluhkan oleh beberapa apotek dan
toko farmasi.

Baca Juga:
Holdingisasi PGE terhadap Perusahaan Panas Bumi PLN Lahirkan Inefisiensi
dan Inefektifitas Korporasi

“Keluhan ini didasarkan pada penetapan HET yangg berimplikasi kepada
pembatasan margin yang relatif kecil, sehingga memberatkan bagi apotek atau
toko farmasi di daerah,” sambungnya.

Beberapa apotek menyebutkan terjadi penurunan penyediaan obat-obat dikarenakan
kecilnya margin yang tidak mencerminkan biaya serta resiko operasional yang
dihadapi.

Ada juga temuan, Pedagang Besar Farmasi (PBF) lebih mengutamakan pasokan ke
rumah sakit dan klinik dengan pertimbangan urgensi kegunaan, karena pasien
yang dirawat di rumah sakit pada umumnya memiliki gejala yang lebih berat.

Berbagai kondisi ini kemungkinan menjadi penyebab masih langkanya produk obat
dimaksud di beberapa toko dan apotek di daerah.

Beberapa obat juga diproduksi dengan porsi bahan baku impor lebih dari 90%,
sedangkan saat ini terjadi beberapa larangan ekspor bahan baku dan obat jadi
pada negara penyedia bahan baku tersebut.

Larangan ekspor dapat disebabkan oleh kenaikan kebutuhan di negara pengimpor
tersebut, sehingga menghambat produksi dalam negeri.

Pemicu lain adalah adanya kewajiban dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) untuk melaporkan distribusi harian, sehingga menjadi salah satu alasan
bagi para apotek untuk tidak mengadakan obat-obat tersebut.

Stok obat pada aplikasi farmaplus (https://farmaplus.kemkes.go.id/) juga bukan
merupakan data realtime.

Baca Juga:
BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 3,50 Persen

Karena industri farmasi dan pedagang besar farmasi menyampaikan data H-1
sehingga dapat terjadi perbedaan data yang disajikan dengan yang ada di
lapangan.

Untuk itu, KPPU memberikan beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan pemerintah
yaitu, Reformulasi HET dengan penyesuaian margin yang wajar bagi pelaku
farmasi ritel.

“Memberlakukan HET dengan menyediakan insentif, seperti subsidi untuk menutup
sebagian biaya distribusi,” sambung Ukay.

Ketiga, ttap dengan besaran HET sekarang, tetapi dengan menggunakan jaringan
apotek BUMN dan/atau faskes pemerintah pusat dan daerah sebagai jalur utama
distribusi dan penjualan obat obatan yang dimaksud.

Asumsinya, jaringan apotek dan faskes pemerintah dapat memenuhi sebagian besar
permintaan terhada produk obat esensial Covid-19 tersebut.

Terhadap permasalahan persaingan, KPPU akan memfokuskan penelitiannya kepada
jenis obat yang ketersediaannya cukup besar dari kebutuhan, namun sulit
ditemukan di pasar.

“Penelitian juga akan difokuskan kepada daerah yang memiliki persentase
ketersediaan obat yang tinggi, tetapi masih ditemukan harga yang di atas HET
dan pasokan yang sedikit,” tutup Ukay Karyadi. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini