Klungkung – Di tengah keindahan Nusa Penida, sebuah konflik sosial mulai menyeruak di Desa Adat Ped, tepatnya di Banjar Adat Sental Kangin.
Sejumlah warga yang tergabung dalam Kelompok S dianggap telah melanggar aturan adat, hingga dikenai sanksi adat kesepekang. Namun, bukannya mereda, konflik justru semakin meruncing pasca perayaan Nyepi.
Salah satu pemicu utamanya adalah provokasi yang dilakukan KP, seorang warga yang telah dikenai sanksi.
Dengan aksinya saat berkendara yang dinilai tidak elok, ia memancing perhatian warga yang berkumpul di pos kamling. Ketegangan memuncak ketika, tak terima disoraki, KP kembali bersama anaknya yang merupakan anggota TNI terlibat ketegangan dengan warga.
Untungnya, pihak keamanan segera turun tangan untuk meredakan situasi, mencegah bentrokan fisik yang lebih besar.
Nyoman Supaya, Kelian Desa Adat Sental Kangin, menjelaskan langkah menjatuhkan sanksi kesepekang hingga Kanorayang bukan keputusan yang diambil secara sembarangan.
Konflik ini berakar dari perubahan ekonomi di wilayah pesisir Sental Kangin, di mana menurunnya industri rumput laut membuka peluang baru dalam sektor pariwisata.
Ketut Leo, salah satu tokoh desa, berinisiatif membersihkan pantai dan menata kawasan tersebut untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata.
Namun, langkah ini memicu perebutan lahan di antara warga. Kelompok S diduga mengambil bagian strategis sepanjang 71 meter secara sepihak, meninggalkan hanya 100 meter untuk dibagi oleh 94 kepala keluarga lainnya.
Ketegangan semakin meningkat ketika Kelompok S bersikeras bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sehingga menolak tuntutan pembagian lahan yang lebih adil. Penolakan mereka terhadap keputusan adat akhirnya memicu sanksi kesepekang, dan kemudian berujung pada sanksi Kanurayang, yang merupakan hukuman adat lebih berat bagi pelanggaran serius terhadap norma sosial masyarakat adat.
Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah melalui jalur adat telah dilakukan, namun Kelompok S tetap menolak.
Bahkan dalam konflik perebutan lahan strategis di wilayah pesisir, kelompok ini bersikeras menguasai sebagian besar tanah tanpa mempertimbangkan keadilan bagi kepala keluarga lainnya.
Menurut Supaya, awig-awig—aturan adat yang menjadi pedoman masyarakat—adalah cerminan identitas desa adat.
Pelanggaran terhadapnya tidak hanya merusak harmoni sosial, tetapi juga mengancam warisan nilai-nilai adat yang dijaga turun-temurun.
“Kami ingin ini menjadi pelajaran agar semua pihak menghormati aturan adat, demi menjaga keharmonisan bersama,” tegasnya.
Keputusan untuk menjatuhkan sanksi ini menjadi simbol keteguhan Desa Adat Ped dalam mempertahankan tradisi di tengah tantangan modernisasi.
Warga berharap langkah tersebut mampu mencegah konflik serupa di masa depan, sekaligus mengingatkan semua pihak akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai adat demi keberlangsungan komunitas yang damai dan sejahtera.***