SANUR – Artotel Project Series bulan September ini menghadirkan Alam Taslim seniman berkarakter asal Surabaya . Hal tersebut disambut antusias bagi penikmat seni yang bisa dibilang anti mainstream.
Bagaimana tidak? gambar atau lukisan yang lazimnya menjadi pajangan, kini bisa bertransformasi menjadi pin yang lucu dengan berbagai bentuk monster makanan atau alat masak.
Alam Taslim mengatakan alasan mengapa karyanya (seni murni) disalurkan ke wujud lain atau lebih ke seni terapan (applied art) karena bermula dari keprihatinannya terhadap perkembangan seni terapan, yang masih belum mengarah ke identitas lokal.
“Abisnya gemes sama pin-pin enamel yang ada, gitu-gitu aja. Gak ada yang bisa merepresentasikan kelokalan kita,” jelasnya dihubungi Kabarnusa.com, baru baru ini.
Dijelaskan seniman pecinta mi instan tersebut, karena merasa banyak quirkiness (permainan kata-kata) di lokalitas sekitar dan itu menarik kata Alam, dan menggemaskan.
Apalagi sambungnya, ketika warna pin nya itu dari cat air atau pensil warna, kuasan dan arsiran itu memiliki kesan yang personal.
Untuk diketahui, kegiatan itu adalah acara rutin bulanan yang diselenggarakan oleh ARTOTEL Group di seluruh Indonesia dimana setiap bulannya semua unit ARTOTEL mengadakan acara art wokshop atau lokakarya seni dengan menghadirkan para seniman lokal kenamaan untuk mengajarkan seni rupa kepada masyarakat awam dengan cara praktek langsung (interaktif).
Alumnus ITSN Surabaya tersebut mengaku hal itu semacam statement tentang personality pribadi dan personality kelokalan kita sebagai rakyat Indonesia.
“Aku suka akan “pop culture” (salah satu budaya yang dianut oleh khalayak umum publik) unik kita, Igor monsterku, aku bisa kategoriin pop culture. Tabung gas 3 kg juga pop culture,” pungkasnya.
Dilanjutkan, IGOR adalah monster yang terinspirasi dari mie instan, panci, mangkok dan tabung gas 3 kg di warung mie yang menjamur di ibukota. Karena bagi dia, setiap pengorbanan semangkok mie instan harus dihargai.
Selain pin, menurut Alam bisa diaplikasikan ke hal lain seperti kaos, totebag, drawstring bag, scarf, diproduksi jadi patches juga. “Detail produk bisa diintip di ig igorsatumangkok, ” tutur seniman yang menetap di Ubud tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Marketing Communications Manager Artotel Sanur Bali, Frederric Ferry bahwa pihaknya sangat mensupport seniman-seniman lokal Indonesia.
“Mencoba mengispirasi para penikmat seni pemula ataupun para calon seniman. Dengan mengetengahkan karya-karya para seniman lokal seperti Alam untuk memajukan seni rupa setempat,” jelas pria yang akrab disapa Ferry tersebut.
Dalam art class tiap bulannya biasanya mendatangkan 6-8 peserta. Dan untuk bulan ini ada 4 peserta dari profesi yang berbeda yakni Cindy Ishimine (EO), Merrel Cheng (Mahasiswi dari Belanda), Kiki Rizki (Desainer Grafis), Mala (jurnalis), dan sisanya berhalangan hadir.
Intinya, Artotel senantiasa mencoba untuk memasyarakatkan seni rupa sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Seni rupa bukan lagi hal yang eksklusif dan hanya bisa diamati melainkan sebagai kebutuhan dasar, baik sebagai fungsi sosial sekaligus relaksasi.
“Contohnya belajar membuat pin-pin yg selain bisa diapresiasi oleh orang lain segi keindahannya, juga berfungsi sebagai artikel fashion yang fungsional bagi si pemakai.” tutup Ferry. (mal)