Lelang Villa Kozy, Pejabat KPKLN Salahgunakan Kekuasaan

27 April 2016, 20:41 WIB

Kabarnusa.com  – Seorang pejabat dikategorikan melawan hukum jika melakukan penyalahgunaan kekuasaan saat bertindak dalam kekuasaannya baik berada dalam tugas pokok fungsi (tupoksi) ataupun di luar tupoksi.

Demikian keterangan Professor Eddy O. S. Hiariej ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang dihadirkan dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Usman Arif Murtopo (39) di Pengadilan Negeri Denpasar Rabu (27/4/2016).

Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Edward Harris Sinaga dihadiri jaksa dan kuasa hukum terdakwa Usman yang merupakan pejabat Lelang Kelas I Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada KPKLN Denpasar. 

Diketahui, dalam dakwaan Usman, dinilai melanggar pasal 421 dan 263 KUHAP yakni penyalahgunaan kewenangan dalam hal ini pelaksaan lelang Villa Kozy di Kuta, Bali pada Februari 2011.

Lelang itu, atas pernohonan Bank of India Indonesia (dahulu bank Swadesi) karena pemilik Villa Kozy, Rita Kishore, diduga mengalami kredit tertunda sebesar sekitar Rp 8 miliar. Pemenang lelang adalah Sugiarto Raharjo.

Sebelum proses lelang dilakukan, Usman tidak mempertimbangkan adanya gugatan debitur yakni Rita Kishore di pengadilan.

Dalam sidang, Jaksa Made Dipa Umbara mencecar ahli, tentang perbuatan pejabat lelang yang bisa dikaategorikan melawan hukum.

Menurut Eddy, perbuatan melawan hukum meliputi didalamnya penyalahgunaan kekuasaan baik dilakukan seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat yang dikatakan melakukan pelanggaran. Termasuk didalamnya, penyalahgunaan kekuasaan.

Saksi ahli menegaskan, perbuatan pejabat lelang itu, bisa diketegorikan telah menyalahgunakan kekuasaan sehingga dijerat pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana dua tahun delapan bulan.

Kemudian, jaksa menanyakan, apakah pejabat lelang itu, dalam menetapkan limit harga obyek yang dilelang, telah memperhatikan taksiran tim appraisal independen, apakah disebut melakukan pelanggaran hukum.

Sesuai pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan PMK Tahun 2010 tentang petunjuk pelaksanaan lelang, maka setiap lelang dalam penetapan nilai dilakukan penjual atau pembeli barang.

Sedangkan pasal 36, harga barang ditetapkan berdasar pihak penaksir atau appraisal.

“Saya bukan ahli lelang, tetapi secara teori hukum substansi bahwa apa yang dibacakan penuntut umum, bersifat imperatif, aturan imperatif mengandung perintah, maka bisa dianggap penyalahgunaan lelang,” tandasnya.

Pejabat lelang melaksanakan pelelangan, ada nilai. Jika kemudian dia menerima lebih dari penjual, harus mengetahui apakah nilai itu sesuai dengan yang ditetapkan tim penaksir atau tidak.

“Kalau pelaksanaannya tidak mentaati aturan, maka melanggar, menyalahgunakan kekuasaan,” sambungnya.

Demikian juga, apakah membiarkan sesuatu atau memaksa melakukan sesuatu dengan cara menggunakan kekuasaannya, maka Sesorang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Kemudian, Kata jaksa, bila limit harga tidak diterima pejabat lelang, apakah dapat dikatakan obyek baik secara obyek dan meterial lelang itu melanggar.

“Kemudian, jika dalam pelaksanaan lelang, ada pihak yamg menyatakan obyek lelang dalam perkara di pengadilan, kemudian pejabat lelang melanjutkan lelang sampai ada pemenang lelang, apakah itu melawan hukum,” tanya jaksa.

Eddy menegaskan, jika ada keharusan yang dilakukan itu, sudah sesuai aturan dan prosedur, maka hal itu bukanlah tindakan melawan hukum.

Keterangan saksi Ahli itu, bahwa terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan diatur dalam pasal 421.

Hakim menegaskan, bahwa keterangan ahli itu perlu klarifikasi, bahwa BAP yang merupakan keyakinan ahli, bukanlah alat bukti.

Keterangan Ahli di BAP, bukan menjadi patokan, apa yang diterangkan ahli di persidangan itu yang nantinya dipakai.

Pada pertanyaan berikutnya, jika terdakwa dalam menjalankan kekuasananya berdasar surat tugas, apakah perintah jabatan itu, bisa menghapuskan tindak pidana.

Eddy menjelaskan, hal itu ada tiga syaratnya, pertama jka perintah jabatan itu memiliki hubungan subordnisai, kedua tunduk dalam administrasi negara dan ketiga dilakukan dengan itikat baik.

Seandainya pemberian tugas dilakukan bertentangan hukum, maka hanya yang memberikan perintah, yang bisa diberikan pidana bukan pelaksana tugas.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum yang meminta klarifikasi atas keterangan saksi ahli dalam BAP di Polda Bali, Eddy menegaskan, alasan dirinya memberi pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa dapat dijerat dalam beberapa pasal sebagai dakwaan alternatif.

“Saya katakan, perbuatan terdakwa bisa dijerat pasal 421 dan 263, jika jaksa punya keyakinan itu, tetapi ada beberapa kemungkinan yang bisa dijerat, sejauh mana,  itu bisa dibuktikan penyidik,” tandas Eddy.

Sepanjang fakta itu diberikan penyidik sama dengan BAP. Jika kemudian berbeda maka itu di luar kapasitasnya, sebab itulah yang akan dibuktikan penyidik.

Selain Eddy sidang juga menghadirkan seorang ahli lelang. Hakim melanjutkan Sidang dilanjutkan dua pekan mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini