MK Perpanjang Batas Waktu Permohonan Bantuan Medis hingga Kompensasi Korban Terorisme, Ini Langkah LPSK dan BNPT

LPSK dan BNPT menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. Register 103/PUU-XXI/2023 dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat luas

12 Oktober 2024, 06:37 WIB

Badung – Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi MK yang memperpanjang batasan jangka waktu permohonan bantuan medis, psikologis, psikososial dan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bergerak cepat untuk mensosialisasikan putusan MK.

LPSK dan BNPT menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. Register 103/PUU-XXI/2023 dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat luas.

Wakil Ketua LPSK Mahyudin menjelaskan, setelah adanya putusan MK itu, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau korban terorisme masa lalu yang belum mengajukan bantuan, baik medis, psikologis, psikososial dan kompensasi dalam kurun waktu 2018-2021 sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 2018.

“Setelah putusan MK itu, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau korban terorisme masa lalu yang belum mengajukan bantuan, baik medis, psikologis, psikososial dan kompensasi dalam kurun waktu 2018-2021 sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 2018,” tutur Mahyudin saat “Ngobrol sambil Ngopi (NGOPI) bersama LPSK dan BNPT di Kuta Jumat 11 Oktober 2024.

Diharapkan informasi mengenai putusan MK yang memperpanjang batasan jangka waktu permohonan bagi korban terorisme masa lalu, akan diketahui publik secara luas

Putusan MK memperpanjang batasan jangka waktu permohonan bantuan medis, psikologis, psikososial dan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu.

LPSK dan BNPT dua institusi pelaksana perlindungan korban terorisme ini menggelar pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan di Bali.

Pertama, sosialisasi Putusan MK kepada jajaran kepolisian, organisasi perangkat daerah di lingkungan pemerintah provinsi dan beberapa perwakilan rumah sakit, yang digelar di kantor Pemprov Bali, Kamis 10 Oktober 2024.

”Sosialisasi Putusan MK ini waktunya hampir bersamaan dengan momentum Peringatan Peristiwa Bali I yang diperingati setiap 12 Oktober setiap tahun,” ungkap Mahyudin .

Korban terorisme masa lalu dimaknai mulai Peristiwa Bali I pada 2002 hingga peristiwa terorisme lainnya sebelum tahun 2018, atau pada saat UU No. 5 Tahun 2018 diundangkan.

Setelah adanya putusan MK itu, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau korban terorisme masa lalu yang belum mengajukan bantuan, baik medis, psikologis, psikososial dan kompensasi dalam kurun waktu 2018-2021 sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 2018.

“Batasan jangka waktu yang cukup singkat menyebabkan masih ada korban yang belum mengajukan haknya,” kata Mahyudin.

Menurutnya, korban ingin disamakan haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) UUD 1945, yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Batasan jangka waktu itu cukup singkat mengingat peraturan pelaksana baru terbit pada 2020 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2020.

“Efektif hanya tersedia waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi, penetapan korban, perhitungan dan penetapan kompensasi,” jelas Mahyudin.

Direktur Perlindungan BNPT Imam Margono menyatakan, korban terorisme wajib dilindungi negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh BNPT dan LPSK.

Aturan lama (memberikan batasan jangka waktu) tiga tahun untuk identifikasi penyintas terorisme. Karena singkatnya waktu, belum semua penyintas berhasil diidentifikasi dan mendapatkan bantuan.

“Setelah uji materiil dikabulkan MK, BNPT dan LPSK langsung bergerak,” imbuh Imam Margono.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian terhadap uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme).

Pada sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Kamis (29/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK itu, mahkamah menilai frasa “3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) UU No. 5 Tahun 2018 adalah inkonstitusional secara bersyarat. Sehingga batasan jangka waktu diperpanjang menjadi 10 tahun terhitung sejak tanggal UU tersebut mulai berlaku. ***

Berita Lainnya

Terkini