Otsus Kandas, Gubernur Koster Perjuangkan RUU Provinsi Bali

16 Januari 2019, 21:04 WIB
Gubernur Bali Wayan Koster bersama para kepala daerah dan DPRD Bali menandatangani RUU Provinsi Bali yang akan diperjuangkan ke pusat/biro humas

DENPASAR – Setelah RUU Otonomi Khusus (Otsus) mentok di pusat kini pada awal kepemimpinan Gubernur Bali I Wayan Koster bertekad akan terus memperjuangkan ke pusat RUU Provinsi Bali yang diharapkan bisa lebih memberikan perlindungan kepada Bali.

Pembahasan RUU Provinsi Bali telah rampung, sehingga Gubernur Koster akan memperjuangkan ke pusat, agar segera disahkan menjadi Undang-Undang.

Koster memaparkan RUU tersebut, di hadapan Ketua DPRD Bali, Bupati/Walikota, Ketua DPRD Kabupaten/Kota, Anggota DPD Perwakilan Bali, sejumlah Rektor Universitas, PHDI, MUPD, FKUB dan tokoh masyarakat di Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Rabu (16/1/2019).

Koster menyinggung tentang pentingnya upaya menjaga pembangunan Bali agar tetap eksis dan berkelanjutan hingga generasi yang akan datang. Salah satu langkah urgen yang harus segera dilakukan untuk memproteksi Bali adalah penyusunan sebuah regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang Provinsi Bali.

“Dengan adanya UU itu, nantinya seluruh wilayah dengan segala sumber dayanya diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik,” tandasnya. Saat ini, Bali masih diatur dalam payung hukum Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT.

Secara konstitusi UU tersebut sudah tidak rekevan lagi karena yang menjadi dasar penyusunannya adalah Undang-Undang Sementara Tahun 1950. Selain itu, secara ideologi, kala itu bentuk negara masih Republik Indonesia Sementara (RIS).

“Sementara saat ini kita sudah dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jadi secara fundamental sudah sangat berubah,” ujarnya. Tiga wilayah yang berada di bawah satu payung hukum tersebut saat ini sudah berkembang dan punya keunggulan masing-masing dan seyogyanya diatur dalam undang-undang yang terpisah.

Bertolak dari sejumlah fakta tersebut, Koster menilai UU yang lama sudah tidak relevan untuk menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi Bali dewasa ini. Koster menambahkan, usulan agar Bali berada di bawah payung hukum tersendiri sudah lama menjadi pemikirannya. “Makanya begitu terpilih menjadi Gubernur, ini menjadi prioritas saya,” imbuhnya.

Pihaknya optimis, perjuangan mengawal RUU Tentang Provinsi Bali ini lebih mudah jika dibandingkan RUU Otsus yang sebelumnya mentok di pusat. Secara politis tidak menimbulkan resistensi karena Bali tetap dalam konteks NKRI. Selain itu, RUU yang diajukan ini, tak berkaitan kapling anggaran, jadi tidak membebani pusat.

“Kita hanya ingin mengoptimalkan pengelolaan sejumlah urusan yang dilimpahkan oleh pusat. Kita ingin mengurus Bali dengan lebih baik,” tandasnya. Dijelaskan, RUU Tentang Provinsi Bali yang dipaparkan Gubernur Koster terdiri dari 41 Pasal yang tertuang dalam 13 Bab. Rancangan itu didasari sejumlah permasalahan yang hingga saat ini masih dihadapi Pulau Dewata.

Permasalahan itu antara lain kesenjangan antar daerah, industri pariwisata yang lebih terkonsentrasi di Bali selatan, ketidakseimbangan pembangunan yang memicu urbanisasi ke wilayah Denpasar dan sekitarnya hingga makin tertinggalnya laju perekonomian kawasan Bali Utara dan Timur.

Koster berpendapat, permasalahan ini memerlukan pendekatan pembangunan dalam satu kesatuan wilayah, 1 pulau, 1 pola, 1 tata kelola (one island, one management, one commando).

Pendekatan pembangunan dalam satu kesatuan wilayah itu secara lebih spesifik diatur dalam RUU Tentang Provinsi Bali. Regulasinya tertuang dalam Bab IV Pasal 8 RUU Provinsi Bali yang mengatur tentang Urusan Pemerintah Provinsi.

Dalam Bab IV Pasal 8 Point 3 disebutkan bahwa urusan pemerintahan tertentu yang sepenuhnya menjadi Kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom, mencakup bidang kebudayaan, adat istiadat, tradisi, subak, desa adat, penataan ruang, periwisata, kependudukan, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

Lebih dari itu, persoalan yang banyak dihadapi tenaga kerja lokal mendapat perhatian Gubernur Koster dan diatur dalam RUU ini. Belakangan ini tenaga kerja lokal kerap memperoleh perlakuan diskriminasi karena dikait-kaitkan dengan ikatan adat istiadat yang mengharuskan mereka banyak minta izin.

Mencermati hal tersebut, Bab IX Pasal 29 RUU Provinsi Bali secara tegas mewajibkan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di Bali agar mengutamakan penggunaan tenaga kerja setempat.

“Kita juga memahami bahwa pengusaha tak mau rugi terkait dengan jam kerja yang nantinya tetap harus dipenuhi oleh para pekerja. Untuk itu, kita akan berkoordinasi dengan pengusaha agar bisa diatur,” imbuhnya.

Untuk memuluskan perjuangan mengawal RUU ini, Koster berharap dukungan dari berbagai komponen yang dituangkan dalam tandatangan dan Deklarasi Bali. “Mari kita sepakat dan lepaskan atribut partai karena ini merupakan langkah strategis yang sangat penting bagi Bali. Mari kita bersama membuat sejarah, bukan hanya membaca sejarah,” imbuhnya.

Dukungan disampaikan Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta, Ketua FKUB Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua MUDP Jero Gede Suwena Putus Upadesha dan Ketua PHDI Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.

Setelah memperoleh persetujuan dan dukungan berbagai komponen, Gubernur Koster berencana membawa usulan RUU ini ke DPR RI, 23 Januari 2019 . Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama mengajak seluruh masyarakat Bali berdoa dan bersatu agar RUU ini bisa secepatnya diproses dan disahkan. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini