Ekonom Konstitusi Defiyan Cori/ist |
Implementasi pengelolaan dari Sovereign Wealth Fund (SWF) dan
manfaatnya bagi percepatan pembukaan lapangan kerja dalam mendukung
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional sedang ditunggu banyak pihak,
khususnya pelaku usaha.
Sebagaimana telah diketahui oleh publik dan pemangku kepentingan
(stakeholders), Pemerintah telah membentuk sebuah lembaga sebagai pengelola
SWF, yaitu Indonesia Investment Authority (INA), dan publik serta berbagai
pihak yang berkepentingan sedang menanti peraturan teknis dan operasional
lainnya sebagai landasan bekerjanya lembaga tersebut.
Sementara itu, jajaran Pengurus atau Direksi Lembaga Pengelola Investasi (LPI)
dan yang dikenal juga sebagai pengelola Sovereign Wealth Fund (SWF) atau
secara gramatikal adalah Dana Kekayaan Abadi telah dilantik oleh Presiden Joko
Widodo di Istana Kepresidenan pada Hari Selasa, tanggal 16 Februari 2021.
Dalam kesempatan itu, Presiden melalui pidato menyatakan keyakinannya dengan
nama-nama hebat yang mengurusi tersebut dapat membuat LPI mendapatkan
kepercayaan investasi nasional maupun internasional.
Ditambahkan pula, bahwa dengan pondasi hukum dan dukungan politik yang kuat
serta Dewan Pengawas dan jajaran Direksi yang hebat serta jejaring
internasional yang kuat Presiden meyakini lembaga ini akan memperoleh
kepercayaan nasional dan internasional.
Dan mampu membuat INA sebagai Sovereign Wealth Fund Kelas Dunia. Benarkah
demikian adanya, tentu waktu di masa depan yang akan membuktikannya.
Kunci Sukses Sosialisasi
Banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pengemban amanah LPI yang katanya
merupakan sosok-sosok hebat itu, selain komptensi dan profesionalitas sebagai
prasyarat dalam mengelola lembaga baru itu.
Paling tidak ada 3 (tiga) hal mendasar yang perlu dilakukan LPI atas
keberadaannya (eksistensi) sebagai lembaga pengelola dana abadi atau pengelola
investasi ini, yaitu: 1. Sosialisasi kepada publik apakah itu SWF atau LPI, 2.
Soal Sumber Dana LPI, dan 3. Tugas, Peran dan Fungsi SWF di Indonesia diantara
lembaga perbankan dan institusi keuangan lainnya.
Diantara ketiga hal yang patut diperhatikan oleh jajaran Pengurus atau Direksi
LPI tersebut, maka sosialisasi mengenai apa yang dimaksud SWF dan atau LPI
kepada masyarakat luas menjadi faktor kunci keberhasilan lembaga ini dalam
memperoleh kepercayaan (trust).
Penjelasan dan pemahaman publik tentang apakah itu Sovereign Wealth Fund (SWF)
yang mungkin bagi sebagian orang awam sesuatu yang asing (mungkin karena
namanya) menjadi faktor krusial.
Pengelolaan sebuah dana investasi milik negara yang alokasinya mungkin
berbentuk aset riil atau terdapat pada harta (asset) keuangan seperti saham,
obligasi, dan real estat.
SWF Itu dapat berbentuk sekian kumpulan dana investasi (pooled investment
vehicle) di pasar keuangan global selain private equity funds dan hedge funds
juga harus memenuhi prinsip umum yang berlaku.
Pengertian umumnya, Sovereign Wealth Fund (SWF) sebagaimana halnya yang telah
terbentuk lebih dulu dinegara-negara lain merupakan sebuah badan milik negara
yang tugasnya mengelola dana investasi yang dihimpun dari berbagai pihak, baik
itu perorangan, lembaga dan negara.
Dibentuknya lembaga atau badan pengelola dana investasi ini ditujukan untuk
membangun perekonomian suatu negara dan juga bagi kesejahteraan warganya.
Pada dasarnya, SWF tidaklah jauh berbeda atau mirip seperti pengelola modal
ventura (venture capital) dalam bentuk pembiayaan berupa penyertaan modal ke
dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha untuk jangka waktu
tertentu.
Pada umumnya investasi ini dilakukan dalam bentuk penyerahan modal secara
tunai yang ditukar dengan sejumlah saham pada perusahaan pasangan usaha yang
diberikan modal.
Sementara, sumber dana untuk SWF lebih variatif atau bermacam-macam, tetapi
pada umumnya berasal dari cadangan surplus dana pembiayaan pembangunnan pada
suatu negara.
Selain itu, SWF juga mengelola cadangan devisa bank sentral (dalam hal ini
Bank Indonesia), yang berasal dari dana akumulasi surplus perdagangan dan
surplus anggaran, serta dana hasil privatisasi perusahaan negara, termasuk
pemasukan negara dari ekspor, dan masih banyak lagi yang lainnya.
SWF saat ini telah banyak berdiri dibeberapa negara dan, walaupun tidak semua
memiliki lembaga pengelola investasi milik negara. Bahkan, dalam suatu negara
bisa terdapat lembaga SWF ini lebih dari satu.
Menurut Sovereign Wealth Fund Institute (SWFI), terdapat 5 (lima) SWF
dibeberapa negara dengan dana yang dikelola paling banyak di dunia, yaitu: 1)
Norway Government Pension Fund Global sejumlah US$1,1 Triliun, 2) China
Investment Corporation sejumlah US$1,045 Triliun, 3) Abu Dhabi Investment
Authority sejumlah US$579 Miliar,4) Hong Kong Monetary Authority Investment
Portfolio sejumlah US$576 Miliar, dan 5) Kuwait Investment Authority mengelola
dana sejumlah US$533 Miliar.
Jenis-Jenis SWF juga berbeda, ada yang merupakan dana untuk stabilisasi
(Stabilization Fund) digunakan dalam menyelesaikan permasalahan krisis ekonomi
dan keuangan.
Dana stabilisasi ini juga biasa disebut dengan rainy day fund. Jenis SWF ini
dibentuk pemerintah untuk melindungi negaranya dari guncangan ekonomi yang
menyebabkan perubahan drastis terhadap perkembangan keuangan negara.
Contoh dari situasi-situasi ini adalah krisis ekonomi, misalnya terjadinya
peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan yang mendadak, kenaikan harga
bahan bakar, minyak, atau harga sumberdaya penting yang menguasai hajat hidup
orang banyak lainnya, dan masih banyak jenis krisis lainnya lagi.
Negara yang memiliki jenis dan peruntukkan atau alokasi SWF seperti ini salah
satunya adalah Rusia.
Sebagaimana diketahui publik internasional, Rusia merupakan salah satu negara
eksportir BBM dan minyak terbesar di dunia menjadi pasal kuat mengelola jenis
ini.
Jenis SWF berikutnya, yaitu Dana Untuk Masa Depan atau Future Generation Fund
(FGF), merupakan SWF yang bertujuan untuk mengatur simpanan uang antar
generasi atau intergenerasi.
Banyak negara di dunia yang mengimplementasikan jenis SWF ini untuk mengelola
dana bagi penduduk berusia lanjut dan populasi non produktif negaranya.
Jenis lainnya adalah Dana Cadangan Investasi (Reserve Investment Fund (RIF),
yaitu SWF yang dikhususkan untuk mengelola dana investasi tertentu saja.
Tujuan dari pengelolaan dana ini adalah untuk diinvestasikan sehingga bisa
memperoleh keuntungan atau hasil kembalian investasi yang tinggi.
Dan, jenis Dana Cadangan Pensiun atau Pension Reserve Fund (PRF), sebagaimana
namanya merupakan jenis SWF yang bertujuan untuk mengatur dana pensiun sebuah
negara.
Dengan memiliki jenis SWF ini, pemerintah sebuah negara tidak harus khawatir
akan terjadi kekurangan dana untuk melayani para pensiunan.
SWF jenis ini paling sering ditemukan di negara yang memiliki jumlah penduduk
usia lanjut, populasinya lebih banyak daripada generasi muda atau kelompok
usia produktif.
Lalu, bagaimana halnya dengan LPI atau SWF yang baru saja didirikan di
Indonesia? Dasar hukum SWF telah dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 73
Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Pembentukan ini merupakan turunan atau tindaklanjut dari Omnibus Law atau
Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) dan Keputusan Presiden (Kepres)
yang belum lama disahkan pemerintah.
Jenis SWF yang direncanakan akan dikelola oleh Indonesia melalui LPI adalah
untuk mengelola investasi.
Hal ini telah secara jelas disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan
Desember Tahun 2020 lalu saat menghadiri acara Outlook Perekonomian Indonesia
2021.
Dengan adanya SWF atau dana abadi ini, diharapkan Indonesia tidak perlu lagi
khawatir mengenai persoalan kendala dalam hal pembiayaan pembangunan negara.
Artinya, Indonesia tidak hanya memiliki sumber pembiayaan yang berasal dari
pinjaman atau utang luar dan dalam negeri (loan), tetapi juga dalam bentuk
saham (stock).
Diharapkan, dengan adanya SWF ini, Indonesia akan bisa mencapai pertumbuhan
ekonomi lebih baik lagi di tahun-tahun yang mendatang.
Dukungan Tata Kelola
LPI yang menghimpun dan menyalurkan dana investasi dari berbagai pihak dalam
jumlah besar tidak mungkin bekerja secara optimal tanpa dukungan berbagai
pihak dan lembaga perbankan/keuangan lainnya.
Sebelum terbentuk, banyak publik menantikan kiprah LPI, terutama kalangan
pengusaha menyambut baik kehadiran Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Indonesia
Investment Authority (INA), namun yang lebih penting kapan tindaklanjut dan
operasionalisasi kebijakannya sementara Indonesia masih “bermain-main” dengan
penanganan pandemi COVID-19.
Jika demikian halnya, maka SWF akan bisa efektif dijalankan apabila pandemi
Covid19 telah selesai, karena para peminat investasi harus melihat langsung ke
lapangan.
Selain itu, SWF yang di Indonesia berbeda dengan negara lain seperti Norwegia,
Uni Emirat Arab dan Singapura. Perbedaan ini disebabkan oleh karena ketiga
negara yang lebih dulu mengelola dana abadi tersebut membentuk SWF karena ada
surplus.
Kalau kasus Indonesia, bukan terbentuk disebabkan oleh adanya surplus, atau
SWF bukan berada dalam keadaan adanya kelebihan uang, dan inilah yang membuat
perbedaannya.
Disamping itu, SWF atau LPI yang baru saja terbentuk di Indonesia memang agak
unik dan berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Uni Emirat Arab dan
Singapura.
Hal itu disebabkan oleh latar belakang kehadiran SWFnya, bahwa ketiga negara
tersebut membentuk SWF karena ada surplus.
Maka dari itu, masalah investasi di Indonesia selama ini lebih banyak kepada
proyek yang harta atau kekayaannya (asset) bagus akan menjadi milik negara
atau BUMN.
Yang berbeda dari SWF ini mungkin pada perputaran kekayaan (recycling asset),
yangmana Menteri Keuangan memperbolehkan adanya transfer aset. Apabila Menteri
Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan, bahwa di negara-negara maju orangnya
tidak kerja, tetapi asetnya yang brkerja.
Namun, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya, maka itu LPI akan membuat
kekayaannya (asset) yang bekerja sehingga investor tertarik. Sebab, selama ini
hal tersebut tidak mungkin karena penguasaan kekayaan (asset) berada pada
negara.
Tentu saja, dalam konteks investasi sebagaimana halnya dengan model pembiayaan
dari pinjaman perbankan atau lembaga keuangan lainnya, soal tata kelola dana
pihak ketiga adalah permasalahan tersendiri, khususnya soal resiko investasi.
Prinsip yang umum menjadi persyaratan SWF adalah soal transparansi dan
akuntabilitas sebagai bagian dari tata kelola yang baik (good governance).
Para investor dipastikan membutuhkan kepastian hukum dan jaminan (guarantee)
bahwa dana yang diinvestasikan kelak selain memberikan hasil (yields) juga
minimal dari resiko kehilangan atau kerugian akibat perilaku pengelola dan
tata kelola yang buruk.
Maka, menjadi logis atau masuk akal LPI yang baru terbentuk dan belum
berpengalaman dibidang keuangan dan investasi dalam hal mengelola resiko
investasinya membutuhkan rekan kerjasama (partner) .
Pemerintah dan LPI harus membangun kerjasama dalam hal mengelola resiko,
paling tidak dengan lembaga perbankan yang telah berpengalaman dalam
menyalurkan kredit kepada perusahaan atau korporasi dengan nilai investasi
yang berjumlah besar.
Lembaga perbankan yang akan terlibat dalam tata kelola dan sinergis dengan LPI
sebaiknya berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini porsi
kreditnya lebih banyak dialosikan untuk korporasi.
Dengan demikian, pengetahuan sifat dan karakter korporasi berdasar rekam
jejaknya (track record) berhubungan dengan pinjaman kepada perbankan ini
menjadi pintu masuk yang efektif dan efisien dalam menyaring rekan kerjasama
investasi dari para investor di LPI.
Salah satu lembaga perbankan yang terpusat (fokus) dalam pengelolaan kredit
besar dan sebelum ada kebijakan penggabungan (merger) beberapa bank BUMN,
adalah Bank Mandiri.
Bank Mandiri yang didirikan pada 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari program
restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia
sebaiknya tidak lagi mengurusi soal Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan
mengembalikan peran dan fungsi pada bisnis intinya (core business) sebelum
penggabungan (merger), yaitu mengelola kredit investasi korporasi.
Momentum yang tepat bagi LPI untuk melakukan sinergitas dengan Bank Mandiri
dalam mengoptimalkan layanan SWF kepada para investor yang akan menitipkan
dananya.
Dukungan kinerja Bank Mandiri dan lebih memusatkan (focusing) pada bisnis
intinya (core business) menjadi keniscayaan yang harus didukung oleh kebijakan
pemerintah, sehingga BUMN Perbankan lainnya juga akan mengelola ceruk pasar
(market segmentatio) yang berbeda serta tidak saling berkompetisi dalam pasar
yang sama atau sejenis.
Apalagi, sampai dengan saat ini, Bank Mandiri tetap meneruskan tradisi selama
lebih dari 140 tahun memberikan kontribusi dalam dunia perbankan dan
perekonomian Indonesia.
Melalui kerjasama peran dan fungsi serta sinergitas LPI dan Bank Mandiri
dengan menerapkan prinsip tata kelola (good governance) korporasi yang baik,
maka para investor merasa diyakinkan atas keamanan dan resiko pengelolaan
investasi yang diserahkan kepada LPI atau SWF. (*)
*Defiyan Cori, Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta