Kabarnusa.com
– Bupati Tabanan Ni Putu Eka
Wiryastuti.meresmikan Pelinggih Hyang Catur Bhuana yang dirancang sebagai ikon atau penanda
Kecamatan Selemadeg Timur kemarin (30/6/2016).
Pelinggih yang dibangun lebih dari dua bulan itu berada di catus pata Banjar Megati Kelod, Desa Megati,
Selemadeg Timur.
Sehari sebelumnya Rabu (29/6) tepat Pagerwesi
Budha Kliwon Sinta digelar upacara pemelaspasan, memakuh, dan ngerapuh
yang dipuput Ida Peranda Griya Serampingan di lokasi yang sama.
Peresmian
pelinggih ditandai dengan penandatanganan prasasti
disaksikan Ketua DPRD Kabupaten Tabanan I Ketut Suryadi, sejumlah
anggota DPRD Tabanan, Camat Selemadeg Timur I Gusti Putu Ngurah Darma
Utama, tokoh adat, serta masyarakat setempat. Dan, disusul dengan
kegiatan persembahyangan bersama di lokasi peresmian.
Bupati Eka mengungkapkan rasa syukur terhadap rampungnya
pembangunan Pelinggih Hyang Catur Bhuana. Menurutnya, pelinggih tersebut
merupakan hasil seni dan wujud kecintaan terhadap alam semesta yang
telah diwujudkan di Selemadeg Timur.
“Dikerjakan dengan azas
gotong royong dan bahu-membahu. Dengan dasar ketulusan dan keikhlasan,
dalam waktu yang pendek bisa terwujud dengan indah dan metaksu. Dengan
adanya pelinggih Hyang Catur Bhuana sudah pasti memberikan ilham dan
inspirasi untuk masyarakat kita,” ujarnya.
Dia juga mengungkapkan keinginannya untuk membangun pelinggih
serupa di sembilan kecamatan lainnya. Terlebih Ketua Dewan Ketut
Suryadi juga sependapat.
Eka sempat berpikir dengan Ketua DPRD,
bagaimana kalau padmasana ini di kecamatan-kecamatan lain juga punya.
Bukan hanya dari sisi seni saja, tetapi dari spiritualnya juga. Jujur
saya merasa sangat bangga dengan pendirian pelinggih Hyang Catur Bhuana
di Selemadeg Timur ini. Ini luar biasa.
“Dan, saya mau pada 2017, di
kecamatan lainnya juga buat pelinggih yang sama,” tegasnya.
Keinginannya bukannya tanpa alasan. Menurut Eka, kehidupan harus menyeimbangkan spirit sekala dan niskala. Bila dua
hal ini sudah seimbang, keselarasan dan keseimbangan hidup menjadi
sebuah keniscayaan.
“Dan utamakan niskala dulu. Karena tanpa niskala,
hal-hal yang sekala tidak akan ada,” tegasnya.
Dalam
laporan pertanggungjawaban panitia pembangunan dengan ketuanya I Gde
Budhi Yadnya yang juga Majelis Alit Desa Pekraman Selemadeg Timur
mengungkapkan, pembangunan pelinggih Hyang Catur Bhuana didasari oleh
Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau yang bentuk kegiatannya berupa
penataan ibukota kecamatan (PIK).
Camat
Selemadeg Timur I Gusti Putu Ngurah Darma Utama ingin mempersembahkan
sesuatu yang bernilai dan pada nantinya bisa menjadi kebanggan bagi
segenap warga kecamatan setempat.
Maka lahirlah pemikiran yang
berlanjut menjadi sebuah konsep dan beberapa masukan, tercetus sebuah
ide untuk membuat penanda yang menggabungkan unsur keindahan yang
terbentuk dari rasa seni yang terintegrasi dengan unsur religi yang
diwujudkan dalam bentuk tempat peribadahan atau pelinggih,” jelasnya.
Dikatakan,
pembangunan pelinggih Hyang Catur Bhuna mengikuti konsep Tri Mandala
sesuai dengan topografi Kecamatan Selemadeg Timur yang Nyegara Gunung.
Selain itu, pelinggih tersebut juga menganut konsep Nawa Sanga pada
pengider bhuana.
“Dalam konsep Nawa Sanga pada pengider bhuana,
catus pata Desa Pekraman Megati Kelod merupakan pusat dari keseluruhan
wilayah kecamatan dijadikan sumbu yang diharapkan bisa memutar dan
menggerakkan segala bidang kehidupan masyarakat sesuai pola pergerakan
memutar atau murwa daksina pada konsepsi Swastika Sana,” imbuhnya.
Sebagai
pusat atau sumbu empat penjuru mata angin, sambungnya, pelinggih
tersebut dilengkapi pralingga yang berwujud padmasana yang
merupakan simbol dari perwujudan bhuana agung atau dunia dengan segala
isinya.
Padmasana itu berdiri di atas bunga teratai yang bermakna,
masyarakat Selemadeg Timur akan selalu berada di atas. “Walaupun
bagaimana kondisi air dan lumpur di bawahnya kita akan selalu berada di
atas, layaknya bunga Teratai,” jelasnya.
Di masing-masing sisi
padmasana dijaga oleh dewi-dewi sebagai penguasa empat penjuru mata
angin di antaranya Dewi Uma di sisi timur, Dewi Saraswati di sisi
selatan, Dewi Saci di sisi barat, dan Dewi Sri di sisi utara.
Gde
Budhi Yadnya menambahkan, pembangunan pelinggih ini didanai lewat APBD
2016 dengan nilai mencapai Rp 197 juta. Biaya tersebut dibantu juga dari
sumbangan masyarakat yang nilainya mencapai Rp 21,5 juta. Sedangkan
upacara pemelaspasan menghabiskan biaya mencapai Rp 53 juta.
“Dalam
kesempatan ini, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua
pihak, terutama Ibu Bupati Tabanan yang ikut membantu proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan peresmian pelinggih Hyang Catur
Bhuana.
“Semoga dengan terwujudnya pembangunan pelinggih ini akan memberi
aura dan vibrasi positif. Sehingga tercipta keselarasan dan
keharmonisan segenap aspek kehidupan masyarakat,” tandasnya.
Pembangunan
pelinggih Hyang Catur Bhuana ini dilakukan dengan mengerahkan
seniman-seniman lokal dari Selemadeg Timur.
Ada tiga orang yang menjadi
motor pembangunan pelinggih ini. Mereka adalah I Gede Eka Karmada selaku
arsitek, I Wayan Suranada selaku pematung, serta I Wayan Budi Wiasa
selaku undagi. (gus)