Padahal, dia tidak memiliki izin menyelenggarakan fasilitas tersebut. LPSK juga menemukan telah terjadi hubungan kerja rodi. Keberadaan kerangkeng ini erat kaitan dengan usaha pabrik pengelolahan sawit dan penyediaan pakan ternak milik TRP.
Aktifitas kerja para korban terbagi dari ada yang mulai jam 08.00-17.00 WIB dan 20.00-08.00 WIB. “Semua pekerjaan yang dilakukan tanpa diberikan upah,” sebut Edwin Partogi.
Kepala Biro Penelahaan Permohonan (BPP) LPSK Muhammad Ramdan menjelaskan, dalam masa kurungan dan “bekerja” di tempat TRP, para korban tidak lepas dari kekerasan.
Perbudakan Modern Marak, LPSK: Restitusi Korban Tindak Pidana Capai Rp11,7 Miliar
Semua korban di kerangkeng mengalami pemukulan, ditampar dan ditendang, dipaksa tidur di atas daun jelatang (daun yang menyebabkan gatal), diinjak kepalanya hingga disiram air garam. Mereka dipukul menggunakan selang, kunci inggris, batu dan balok, ditetesi plastis yang sudah dibakar, disundut rokok, disetrum, dan jempol kaki dipukul dengan palu.
Akibat tindak bentuk kekerasan itu, banyak korban yang menderita cacat, seperti jari putus, luka bakar di tubuh, gigi tanggal, tulang rusuk hancur, kuku lepas, stres hingga mengalami gangguan jiwa hingga ada meregang nyawa. Lokasi penganiayaan di kerangkeng maupun di luar kerangkeng, seperti gudang cacing, perkebunan sawit, pabrik sawit dan kolam.
Tidak hanya proses penegakan hukum terhadap TRP dan pelaku lain, termasuk oknum TNI dan Polri, pemenuhan hak-hak korban menjadi sesuatu yang tak kalah penting. Selain perlindungan saksi dan korban selama proses hukum, LPSK memfasilitasi perhitungan kerugian yang dialami korban.
“Korban berhak untuk menuntut restitusi kepada pelaku dan LPSK akan memfasilitasi perhitungan kerugian tersebut,” tutup Muhammad Ramdan. ***