Menggandeng Bank Mandiri, Pelindo III menerapkan digitalisasi berupa pembayaran E-Port Card saat peluncuran uang elektronik di Pelabuhan Benoa, Denpasar Bali |
DENPASAR– “Pakai uang elektronik bisa pak,” ujar seorang petugas di pintu gerbang Pelabuhan Benoa kepada kabarnusa. Hanya berselang kurang dari 2 menit, transaksi memakai uang elektronik terbitan salah satu bank BUMN itu selesai. Saya pun meluncur ke dalam areal pelabuhan untuk melanjutkan rencana liputan.
Pelabuhan Benoa Denpasar sejak September 2017 mulai menerapkan menerapkan pembayaran menggunakan E-Port Card. E-Port merupakan salah satu upaya Pelindo III menerapkan digitalisasi sekaligus menyukseskan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). E-Port Card berbentuk kartu ini dikeluarkan oleh BRI, Bank Mandiri dan BNI. Kartu ini menggantikan uang tunai yang dapat digunakan transaksi masuk ke pelabuhan, pembelian tiket, pembayaran karantina, hingga gudang.
Penggunaaan E-port ini dapat memangkas proses pembayaran dengan lebih cepat dengan asumsi apabila pembayaran tunai memakan waktu sedikitnya 15 detik, dengan adanya reader pada kartu tab akan menjadi hanya 3 detik.
Pembayaran di gate masuk Pelabuhan Benoa menggunakan E-Port card diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi setiap pengunjung yang datang ke Pelabuhan Benoa untuk berbagai urusan dan kegiatan sehingga tidak perlu repot membawa uang pecahan kecil lagi tinggal tap saja di gate lalu masuk.
E-Port merupakan cara salah satu BUMN ini untuk melakukan efektivitas sekaligus efisiensi. Dirut Pelindo III I Gusti Ngurah Askhara Dhanadiputra mengharapkan penggunannya akan mempercepat transaksi di Benoa. Di era kompetitif dan disrupsi sekarang ini, langkah manajemen Benoa ini merupakan pilihan tepat.
Pemanfaatan uang elektronik akan membuat pembayaran lebih transparan daripada manual. Selain itu, pelaku usaha memiliki catatan terkait pengeluaran dan membuat mudah pendataan. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, pungli atau penarikan liar di sekitar pelabuhan sering menjadi rahasia umum. Mereka tidak bisa mengelak. Namun, dampaknya berupa beban biaya akhirnya dibebankan kepada konsumen.
Masalah biaya tinggi memang menjadi perhatian dari Pelindo III. Pada akhir tahun lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsat Panjaitan juga menilai biaya ekonomi di Pelabuhan Benoa terhitung tinggi. Karena itu, diharapkan ada upaya menurunkan tarif jasa. Dengan menurunkan tarif, dan diimbangi peningkatan pelayanan maka Benoa bisa bersaing dengan pelabuhan lain seperti Singapura dan Malaysia.
“Harusnya kalau disana bisa kita disini juga bisa,” ujarnya kala meninjau kesiapan Pelabuhan Benoa.
Usul Luhut, semua sistem yang ada di Pelabuhan Benoa dilakukan secara transparan menggunakan teknologi. Dengan adanya sistem digitalisasi, semua biaya tidak diperlukan bisa dipotong. Luhut kala itu mengaku telah berkoordinasi dengan Kemenhub agar menyesuaikan regulasi standar keamanan dengan perkembangan teknologi terkini seperti terkait penggunaan kapal pandu maupun keberadaan dan peran agen.
“Kalau dilakukan secara transparan lewat online, semua bisa dipotong biaya tidak perlu,” ungkapnya.
Upaya menekan cost logistik tidak hanya dilakukan lewat digitalisasi, Pelindo III juga menggandeng PT Khrisna Group untuk mengelola pusat logistik berikat (PLB) atau gudang logistik di Benoa. Pengelolaan PLB dilakukan di kawasan logistik berikat pada lokasi gudang atau lapangan yang telah dikhususkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai area berikat untuk komoditi ekspor-impor sedangkan Pengelolaan Gudang Logistik dilaksanakan di luar area kawasan berikat dengan jenis komoditi sesuai dengan permintaan pelanggan.
Fasilitas dan infrastruktur yang ada di Pelabuhan Benoa dinilai memadai untuk menjadi lokasi hub untuk regulated agent dari layanan logistik Khrisna. Diharapkan nantinya bisa mendorong distribusi yang lebih agresif dan membawa produk Indonesia bisa masuk ke pasar internasional karena adanya gudang. Salah satu dampak nyata gudang ini adalah pengiriman komoditas manggis Bali ke China. Fasilitas ini membantu eksportir mempercepat pengiriman dengan tetap menjaga kualitas tetapi ongkos biaya bisa ditekan.
CEO Pelindo III Regional Bali Nusra Wayan Eka Saputra mengakui pihaknya terus melakukan perbaikan dan peningkatan layanan. Dijelaskan olehnya, digitalisasi membantu efisiensi dan efektivitas. Dia menyatakan sistem ini terbukti telah mampu menekan biaya tidak perlu bagi pengusaha. Bagi perseroan, sistem ini juga membantu mengefektifkan pemasukan.
Dia menuturkan, selain digitalisasi, pihaknya juga fokus dengan pengembangan. Dalam tahap pengembangan tahap pertama akan direncanakan dikembangkan dermaga peti kemas akan diperpanjang 210 meter dan area penumpukan peti kemas seluas kurang lebih 5 Ha di sisi utara terminal penumpang. Dia menyakini penyediaan fasilitas itu akan berguna memotong biaya pengapalan logistik dari Bali.
Menurutnya, peningkatan fasilitas ini diyakini akan menjadi salah satu solusi terhadap munculnya keluhan dari eksportir di Bali. Sejak lama, wacana kapal ekspor dari Benoa menuju Singapura mengemuka sejak beberapa tahun. Sayangnya, upaya penyediaan kapal langsung ini belum menuai hasil. Padahal keberadaan kapal ekspor langsung sangat dibutuhkan pengusaha di Bali.
“Saat ini sedang difokuskan pengembangan sehingga ke depan dengan adanya fasilitas dan teknologi baru, tentu ini akan membantu meningkatkan layanan bagi eksportir,” jelasnya.
Saat ini,dari total nilai ekspor Bali, hampir sekitar 55% dikapalkan lewat Surabaya. Penyebabnya, harga pengiriman logistik dari Benoa lebih mahal. Kondisi itu dipicu karena kapal yang datang ke Bali sering kosong tanpa muatan. Sebaliknya kapal dari Denpasar menuju daerah lain penuh. Kondisi ini menyebabkan kapal tidak regular dan membuat harga pengiriman lebih mahal.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Gusti Nyoman Rai menuturkan akibat kondisi itu, anggotanya memilih mengirimkan barang ke Surabaya lewat jalur darat sebelum diekspor lewat Singapura. Pengusaha memilih menggunakan jalur darat menuju Surabaya dikarenakan lebih cepat jika dibandingkan tetap menunggu jadwal kapal di Benoa.
Rute kapal ekspor dari Benoa menuju Surabaya tiba 6 hari sekali. Jalur darat Denpasar-Surabaya bisa ditempuh sekitar 1 hari hingga 2 hari sehingga lebih cepat dibandingkan tetap menunggu di Benoa. Praktis situasi itu menyebabkan volume ekspor melalui Pelabuhan Benoa yang rata-rata 1.200 TEUs (twenty-foot equivalent unit ) per bulan, belakangan mengalami penurunan.
“Solusinya memang harus ada kapal ekspor langsung dari Benoa, hanya saja perlu dipikirkan juga bagaimana supaya muatan dari sana ke sini juga penuh,” jelasnya.
Rai menilai penting bagi Bali menyediakan terminal peti kemas dengan harga kompetitif. Di era seperti sekarang, produk ekspor daerah ini memiliki kekhasan dibandingkan dengan produk negara lain. Sayangnya, karena beban ongkos logistik yang tinggi akhirnya membebani konsumen. Padahal jika ongkos logistik bisa ditekan, produk Bali dapat membanjiri luar negeri. Bagi pelaku usaha, produksi dapat meningkat. (rhm)