Jakarta – Sekretaris Jenderal Persaudaraan Tani-Nelayan Indonesia (PETANI), Darmawan, menyatakan keprihatinannya terhadap proyek pagar laut sepanjang 8 kilometer yang dibangun oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Barat di pesisir Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Proyek yang telah berlangsung selama enam bulan ini dinilai merusak ekosistem pesisir dan laut serta mengancam mata pencaharian nelayan setempat.
“Proyek ini tidak hanya merusak habitat laut di pesisir Bekasi, tetapi juga mengganggu aktivitas nelayan yang menjadi tulang punggung ekonomi pesisir. Nelayan sebagai kelompok paling rentan kini menghadapi ancaman serius terhadap sumber penghidupan mereka,” tegas Darmawan.
Menurutnya, kerusakan lingkungan akibat proyek ini bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan.
“Habitat biota laut di kawasan pesisir terganggu, menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan. Hal ini memperburuk kondisi sosial dan ekonomi mereka yang sudah rentan”, katanya.
Darmawan juga mengkritik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai lemah dalam melakukan pengawasan.
“Kementerian KKP seharusnya bertanggung jawab memastikan proyek-proyek seperti ini tidak dilakukan tanpa kajian yang matang. Sayangnya, pengawasan mereka sangat lemah sehingga proyek ini tetap berlanjut meskipun dampaknya merusak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah sering kali hanya bertindak setelah masalah menjadi perhatian publik.
“Hal ini terlihat dari kasus serupa di Tangerang, di mana pagar laut baru dihentikan setelah viral di media sosial”, tandasnya.
Darmawan menilai kinerja pemerintah mencerminkan lemahnya kepedulian pemerintah terhadap nasib masyarakat terdampak dan mereka wajib dievaluasi.
“Kami mendesak evaluasi menyeluruh terhadap pejabat terkait di DKP Jawa Barat dan KKP. Mereka harus bertanggung jawab atas kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan dan lingkungan hidup,” katanya.
Darmawan juga menyoroti potensi pelanggaran hukum dalam proyek ini.
“Proyek pagar laut di Tarumajaya dapat melanggar sejumlah aturan, termasuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, tegasnya.
Persaudaraan Tani-Nelayan Indonesia meminta pihak berwenang untuk memproses hukum semua pihak yang terlibat, baik itu pejabat maupun pelaksana proyek.
“Penegakan hukum harus dilakukan tegas agar ada efek jera dan tidak terjadi kasus serupa di masa depan,” jelasnya.
Ia mengajak kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan untuk bersatu memperjuangkan keadilan bagi nelayan dan keberlanjutan lingkungan pesisir.
“Pemerintah harus mendengar suara rakyat dan menghentikan proyek-proyek yang merusak lingkungan. Nelayan dan lingkungan pesisir harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan,” pungkasnya.***