DENPASAR – Mengangkat pesan-pesan sosial dan kepedulian sebuah buku puisi kembali lahir dari penyair senior Frans Nadjira (75) berjudul “Peluklah Aku”. Setelah antologi puisi “Catatan Di Kertas Basah” (2015), terdiri dari 72 puisi, Frans Nadjira kini hadir dengan buku berjudul “Peluklah Aku”, berisi 53 karya terkininya.
Buku “Peluklah Aku” akan didialogkan dalam program Pustaka Bentara Minggu (24/9) pukul 18.30 WITA di Bentara Budaya Bali (BBB) Ketewel, Gianyar. Tampil sebagai narasumber, I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani (Dosen dan Sastrawan) dan Puji Retno Hardiningtyas, S.S (Peneliti Sastra Balai Bahasa Denpasar).
Selain mengulas kehadiran buku ini, dua pembahas sekaligus juga akan memberi apresiasi secara menyeluruh perihal capaian susastra Frans Nadjira. Frans kelahiran Sulawesi Selatan ini, selain sebagai penyair sohor pula sebagai novelis dan pelukis.
Pada tahun 2015 lalu, ia bahkan menerbitkan dua novel sekaligus, yakni “Keluarga Lara” dan “Jejak – Jejak Mimpi” yang berlatar cerita konflik di Sulawesi Selatan semasa perlawanan Kahar Muzakkar
Buku “Peluklah Aku” diterbitkan oleh Penerbit de la macca, Sulawesi. Sebagaimana karyanya terdahulu, puisi-puisinya dalam buku kali ini juga mengalir sedemikian rupa. Sarat dengan metafora khas miliknya, serta menyentuh pembacanya dengan kedalaman pengalaman yang akrab dengan simbol-simbol alam.
Juga, berikut hamparan makna yang menggoda kita untuk meresapinya lebih jauh. Selain mengungkapkan dunia pribadi yang soliter, puisi-puisinya juga mengandung pesan sosial dan kepedulian.
Frans Nadjira telah mulai menulis puisi dan prosa sejak 1960-an. Belajar melukis di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar (1960).
Pernah meluncurkan antologi cerpen berjudul Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun (Denpasar, 2004), antologi puisi Curriculum Vitae di Taman Budaya (Yogyakarta, 2007), dan antologi cerpen Pohon Kunang-Kunang (2010).
Sajak-sajaknya pernah dimuat di Harian Bali Post, CAK, Kalam, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Pedoman Rakyat, Koran Bali, Fajar, Suara Merdeka, Antology Terminal, Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, Spirit That Moves Us (USA), On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, The Ginseng, A Bonsai’s Morning, Horison Sastra Indonesia, IAI News (Australia) dan lainnya.
Frans Nadjira dikenal pula dengan metode melukisnya yang disebut “psikografi” dan berlanjut dengan metode “asosiasi bebas”. Bersama keluarga kecilnya, sejak awal tahun 1970-an.
Frans menetap di Bali sembari menulis puisi dan prosa, serta melukis sebagai napas hidupnya.
Selain dialog, acara dimaknai pula pemutaran dokumenter karya Dadi Reza Pujiadi dab pembacaan karya.
Sejumlah seniman yang akan merespon karya puisi Frans Nadjira di antaranya Wayan Jengki Sunarta, Nunung Noor El Niel, Imam Barker, Ahmad Obe Marzuki, Kim Al Ghozali, dan lain-lain. (gek)